Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Misteri Waktu, Antara Persepsi dan Relativitas

3 Juni 2021   21:42 Diperbarui: 5 Juni 2021   21:32 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar:Bombastis.com

Setiap manusia diberikan waktu yang sama dalam sehari semalam yaitu 24 jam. Namun, dalam kenyataannya penyikapan manusia terhadap waktu beranekaragam. Ada yang merasa waktu berjalan begitu cepat, karena terjebak dan "asyik" dengan rutinitas kerja seharian yang sangat menyita waktu, sehingga merasa waktu yang tersedia tidak sebanding dengan beban kewajiban yang harus diselesaikan. Namun, di sisi lain ada juga manusia yang merasa waktu berjalan sangat lambat, karena bingung harus melakukan apa di tengah luasnya waktu yang mereka miliki. 

Inilah di antara sebagian misteri "waktu" yang terkadang sulit dipecahkan. Apakah ini berkaitan dengan persepsi yang kita miliki terhadap apa yang kita rasakan, atau berhubungan pula dengan tingkat frekuensi kerja dan kenyamanan dalam berpikir?

Waktu merupakan anugerah terbesar yang dimiliki manusia dari Sang Pencipta. Waktu memiliki sifat cepat berlalu, dan tak mungkin terulang kembali. Oleh karenanya waktu merupakan sarana produktifitas manusia. Jika ia pandai memanfaatkan waktu, maka ia akan menjadi manusia yang produktif dan berbahagia dalam hidupnya. 

Waktu adalah sebuah misteri terbesar dalam hidup ini. Di dalamnya berisikan pengalaman-pengalaman individu yang berbeda satu sama lain. Sebagian besar di antara kita mungkin merasa waktu berjalan begitu cepat. Kita merasa, baru kemaren kita mengalami masa kanak-kanak, eh ternyata hari ini kita sudah memiliki anak-anak. 

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Padahal dahulu ketika kita masih kanak-kanak, kita membayangkan bahwa masa remaja atau bahkan masa dewasa adalah sebuah waktu yang terasa lama sekali dan terasa tak berujung. Namun, ketika itu semua telah kita lalui, seolah-olah itu baru terjadi kemaren. 

Hal ini ternyata secara tersirat sudah termaktub dalam Al Qur'an Surat An Naziat ayat 46 yang artinya ; ..."Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.  

Jika kita melihat pada pengalaman yang terjadi, maka waktu merupakan salah satu bentuk persepsi, tergantung kepada orang yang merasakannya, sehingganya waktu bersifat relatif. Untuk mendefinisikan apa itu waktu, kita terpaksa menggunakan pendekatan sebuah satuan dari waktu tersebut. Kita mengenal satuan waktu yang bernama abad, windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam, dan detik. Dari sana kita sepakai bahwa satu abad = seratus tahun, satu tahun = 12 bulan, satu bulan = 30 hari , satu hari = 24 jam, satu jam = 60 menit, dan satu menit = 60 detik. 

Kembali kepada istilah relativitas tadi, bahwa semua kita memiliki waktu yang sama sehari semalam yaitu 24 jam, tetapi ada yang mempersepsikan waktu yang ada terasa begitu cepat berlalu. Namun, ada sebagian yang lain merasa waktu berjalan biasa saja atau bahkan agak lambat. 

Sebelum adanya standarisasi satuan waktu, perhitungan waktu didasarkan pada peredaran matahari maupun bulan. Sebagai contoh, dalam agama Islam kita mengenal waktu-waktu sholat. Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu 'Ashar dan waktu 'Ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning. 

Kalau kita perhatikan antara penunjuk waktu (arloji atau jam) dengan ukuran posisi matahari (sebagai penanda waktu sholat), tampak ada perbedaan. Penunjuk waktu berupa arloji bersifat statis, artinya tidak ada perubahan dan akan bergerak monoton dan tetap. Tetapi penanda waktu berupa posisi matahari lebih bersifat dinamis dan mengalami perubahan. 

Ini bisa kita perhatikan dari kejadian sehari-hari. Misalnya, pada suatu hari jam menunjukkan pukul 05.30, tetapi suasana pagi sudah begitu terang karena matahari sudah mulai terbit. Tetapi di lain kesempatan, waktu menunjukkan pukul 05.30 tetapi suasana masih gelap dan matahari belum terbit. 

Dalam skala yang lebih makro, bisa jadi "persepsi" semakin cepatnya waktu berlalu bisa jadi disebabkan oleh semakin cepatnya perputaran bumi pada porosnya (rotasi) maupun peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi), sehingga pergantian siang dan malam semakin cepat. Wallahu a'lam bisshowab. *** 

Artike ini pernah ditayangkan di Republika

Referensi:

Sumber: Muslim 

Boombastis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun