Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hakikat Kejahiliyahan Masyarakat Arab Pra Islam

23 Mei 2021   13:49 Diperbarui: 23 Mei 2021   14:01 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Republika.co.id

Kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam dikenal dengan istilah Jahiliyah. Masyarakat Jahiliyah ini identik dengan peradaban yang sangat buruk, pelacuran di mana-mana, pertumpahan darah, dan perbuatan keji lainnya. 

Kehidupan mereka benar-benar rapuh dan jauh dari akal sehat. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela di mana-mana.

Kehidupan jahiliyah yang mereka lakukan jangan dimaknai bahwa mereka bodoh dalam ilmu pengetahuan dan terasing sebagai bangsa yang primitif. Bangsa Arab kala itu, khususnya bangsa Quraisy Makkah, sudah dikenal sebagai bangsa pedagang dan banyaknya ahli sastra atau para penyair di kalangan mereka. 

Kita tahu bahwa adanya hubungan dagang dengan bangsa lain merupakan salah satu indikator bahwa bangsa tersebut memiliki kemajuan yang tinggi dalam hal hubungan internasional serta didukung oleh kemampuan bahasa lisan dan tulisan yang dimiliki oleh mereka.

Selain itu, untuk urusan dalam negeri mereka mempunyai sebuah lembaga yang bernama Daarun Nadwah yaitu tempat yang berfungsi sebagai ruang pertemuan para petinggi Quraisy yang dibangun oleh Qushay bin Kilab. Di dalam Daarun Nadwah sering diadakan musyawarah tentang perang dan perdamaian, pegadilan, pernikahan, sunat anak laki-laki, dan upacara khusus saat seorang gadis muda dinyatakan cocok untuk menikah serta hal-hal penting lainnya.

Menurut Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam dalam As Sirah An Nabawiyah Li Ibni Hisyam, dalam Daarun Nadwah terdapat departemen-departemen khusus, di antaranya, Mashura atau dewan penasihat kota, Sadana (lembaga administrasi kota), Hijaba (satuan penjaga kakbah), Siqaya (departemen penyedia fasilitas air minum), Immarat al Bait (institusi pengelola kakbah), dan Ifada atau institusi yang memiliki hak untuk memberikan izin pada delegasi perayaan. 

Ada juga Ijaza, atau Nasi (lembaga perumus/penyesuaian kalender), Qubba (tim penggalangan dana bencana), A'inna (satuan pengendali kuda), Rafada (lembaga penarik pajak dan penyalur amal bagi haji miskin), Asyar dan Asynaq sebagai penanggung jawab laporan keuangan kota, Hukuma (kepolisian), Sifarah (kedutaan), serta Uqab (lembaga standarisasi pelayanan).

Jika kita melihat struktur kehidupan bangsa Arab Quraisy kala itu, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang bodoh dalam arti jauh dari ilmu pengetahuan. 

Kebodohan (jahiliyah) yang dilekatkan kepada mereka ternyata terletak pada ketidaktahuan akan petunjuk Ilahi sehingga banyak prilaku-prilaku dari mereka yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ketauhidan. Kemusyrikan adalah pangkal dari kebodohan, sehingga manusia seolah berada di jalan yang gelap jauh dari petunjuk.

Inilah makna kebodohan yang sesunggunhya. Mereka telah menjadikan "berhala" sebagai tandingan-tandingan selain Allah yang mereka sembah. Padahal berhala-berhala tersebut adalah hasil kreasi mereka dan tak mampu membuat maslahat maupun mudharat sedikitpun terhap mereka.

Menurut KBBI, Berhala dapat bermakna dua hal, yaitu patung dewa atau sesuatu yang didewakan dan disembah serta dipuja. Pada zaman jahiliyah kita kenal banyak sekali patung yang dibuat dan disembah. 

Ada ratusan berhala yang berada disekitar Ka'bah, yang kemudian berhala-berhala tersebut "dipersatukan" oleh tiga berhala utama yang bernama Al Lata, Al Uzza, dan Manah. Dari tiga berhala tersebut diangkat pula berhala yang paling utama yaitu Hubal.

Selain mereka menjadikan berhala sebagai sembahan-sembahan selain Allah SWT, mereka juga menjadikan tradisi nenek moyang mereka sebagai sesuatu yang "didewakan", sehingga tak boleh ada seorangpun yang boleh mengubahnya. 

Sesungguhnya mereka telah berbuat zalim (aniaya) terhadap diri mereka sendiri, dengan melakukan sebuah kemusyrikan dan menghilangkan akal sehat mereka, sehingga terjatuh pada ketaatan terhadap makhluk dan tradisi atau tata nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai kefitrahan seorang manusia sebagai hamba Allah SWT.

Di tengah-tengah masyarakat jahiliyah tersebut, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, tidak hanya untuk masyarakat Arab Quraisy, tetapi juga untuk seluruh manusia dan alam semesta seluruhnya.

Kehadiran nabi Muhammad SAW di tengah-tengah masyarakat Quraisy pada dasarnya merupakan jawaban do'a dari sebagai besar masyarakat yang tertindas (mustad'afin), baik dari golongan orang-orang yang lemah, kaum wanita maupun anak-anak.

"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (Q.S An nisa :75)

Dalam rangka mengubah masyarakat Makkah dari jahiliyah menjadi Islami, Nabi Muhammad SAW tidak berjuang sendiri. Namun, beliau berhasil mengkapitalisasi masyarakat tertindas di kota Makkah menjadi komunitas masyarakat yang memiliki kekuatan untuk bangkit. 

Sebagai bahan bakar utamanya, adalah penyadaran mereka bahwa sesungguhnya kita semua adalah hamba Allah yang memiliki kesamaan derajat, hak, dan kewajiban, serta kesadaran akan adanya hari pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tidak boleh ada penindasan manusia terhadap manusia, semua harus berlaku adil, tegakkan keadilan dan hancurkan kezaliman.

Setelah kesadaran akan nilai-nilai tauhid tertanam kuat pada kaum minoritas kritis (baca:para sahabat), maka untuk menunjukkan eksistensinya, Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah menuju sebuah tempat yang bernama Yasrib (Madinah). 

Di sanalah beliau membangun sebuah masyarakat madani, sebuah protype masyarakat yang berkeadilan, kesamaan derajat sangat dijunjung tinggi, toleransi antar ummat beragama bukan hanya sebuah teori, dan tentunya kesejahteraan masyarakat dapat tercipta dengan sendirinya.

Kesimpulan. Kejahiliyahan hanya akan menghantarkan pada kehancuran. Agar kita tidak terjebak pada kehidupan yang jahiliyah, maka landasan utamanya adalah Tauhid, yaitu dengan menyembah hanya kepada Allah SWT. 

Tidak menjadikan selain Allah sebagai sesuatu yang lebih kita taati dan lebih mendominasi tata kehidupan kita. Selanjutnya, kita tidak boleh diam terhadap setiap kezaliman, tegakkan keadilan dengan perbuatan tangan kita, jika tidak mampu maka dengan ucapan kita, jika tidak mampu pula maka sekurang-kurangnya dengan do'a-do'a khusu' kita kepada Allah SWT.

Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari hati yang condong kepada selainnya menuju hati yang terpatri hanya kepada-Nya, serta menjadikan diri dan lingkungan kita, selalu mendapat keberkahan dan terhindar dari murka Allah akibat kezaliman. Aamiin Ya Robbal 'alamiin.***

Artikel ini pernah ditayangkan penulis di https://retizen.republika.co.id/posts/11075/hakikat-kejahiliyahan-masyarakat-arab-pra-islam

Refererensi :

kalam.sindonews.com | medcom.id | wiki/Darun_Nadwah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun