Mendapatkan kehidupan yang layak merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang cukup mendasar. Tidak ada manusia yang puas jika hidupnya berada pada kondisi yang tak layak bahkan jauh dari kecukupan. Memang, hidup yang layak tidak selamanya didasarkan pada aspek material berupa tercukupinya berbagai macam kebutuhan dasar. Namun, tercukupinya berbagai macam kebutuhan dasar merupakan syarat agar manusia dikatakan  hidup dalam kelayakan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL), ada delapan komponen yang ditetapkan untuk standar kebutuhan hidup layak, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.
Jika kedelapan standar Kebutuhan Hidup Layak tersebut terpenuhi, maka bisa dikatakan bahwa kita telah berada pada kehidupan yang layak. Namun sebaliknya, jika mayoritas dari kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka kehidupan kita jauh untuk dikatakan layak.
Masih banyak di antara kita yang nota benenya bekerja, tetapi penghasilan dari pekerjaan tersebut hanya habis untuk memenuhi kebutuhan pangan (makan dan minum) serta biaya perumahan saja (sewa rumah dan biaya listrik), sehingga secara material kita belum dikatakan layak dan belum sejahtera.
Lalu di mana letak pangkal permasalahannya?, sehingga kita masih berada dalam kehidupan yang belum layak?. Padahal kita sudah rajin bekerja sejak pagi hingga sore hari, menguras tenaga dan memeras pikiran. Untuk itu, marilah kita lihat apa yang tertuang dalam konstitusi negara kita, yaitu UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi : "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".Â
Dari sini dapat kita katakan bahwa mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak setiap warga negara yang harus dijamin ketersediaannya oleh negara. Negara tidak boleh abai dalam melihat permasalahan ini.
Sebagai bangsa Indonesia, kita adalah bangsa pekerja keras, Â bukan bangsa yang malas. Sejak dahulu kita dididik dengan nilai-nilai yang adiluhung, pantang menyerah dan giat bekerja, bahkan rela bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.Â
Namun dalam kenyataannya, masyarakat Indonesia masih banyak yang berada di bawah garis kemeskinan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika, disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang atau sekitar 10,19 % dari total penduduk Indonesia.
Seperti ada yang salah dalam tata kelola perekonomian di Indonesia. Saat ini, banyak sektor perekonomian dikuasai oleh segelintir orang. Bahkan menurut sebuah survey dikatakan bahwa 1 % orang Indonesia menguasai 50 % aset nasional, sehingga hal ini menimbulkan ketimpangan ekonomi. Praktek perekonomian di Indonesia sudah mengarah kepada kapitalisasi dan mulai meninggalkan sistem ekonomi Pancasila.Â
Banyak sumber-sumber ekonomi tidak lagi dikuasai oleh negara, tetapi dikuasai swasta. Selain itu soko guru perekonomian Indonesia yang bernama "koperasi" hampir tidak terdengar lagi gaungnya.
Berbicara mengenai pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sesungguhnya membicarakan dua hal yang berbeda tetapi tak bisa dipisahkan. Setiap kita menginginkan memiliki pekerjaan, dan pekerjaan tersebut membawa kita kepada penghidupan yang layak.Â