Sejarah adalah rekaman pristiwa masa lalu yang seyogyanya menjadi pelajaran buat kita di masa kini. Hakikatnya tidak ada yang berubah pada lakon sejarah, yang berubah hanyalah tokoh, waktu , dan tempat terjadinya saja.
Berbicara kebenaran akan suatu pristiwa sejarah, terkadang merupakan perkara yang pelik dan misterius. Kevalidan data sejarah terkadang harus dikalahkan oleh kepentingan para penguasa. Sehingga muncul anekdot, "sejarah tergantung siapa yang berkuasa".
Dalam sejarah dialektika perseteruan ideologi dan kekuasaan di Indonesia, barangkali isu Partai Komunis Indonesian(PKI) dan ajaran-ajarannya merupakan salah satu hal yang selalu hangat dan kembali muncul dalam ranah publik, terutama di waktu-waktu khusus seperti di bulan September ini.
Sebagian besar di antara kita tentu telah mengetahui pristiwa yang terjadi di akhir bulan September 1965. Apalagi selama pemerintahan Orde Baru (ORBA), dengan sangat gencarnya pristiwa yang dikenal dengan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau G30S/PKI selalu diperingati sebagai hari berkabung nasional dan tergambar jelas dalam banyak catatan, termasuk dalam buku pelajaran sejarah, khususnya pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Namun, seiring lengsernya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, Secara perlahan isu tentang pristiwa G30S/PKI mulai menghilang, dan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dihapuskan dalam kurikulum di sekolah-sekolah.
Lalu di mana letak keotentikan sejarah itu berada?, Jika suatu pristiwa sejarah harus berubah ketika penguasa berubah?.
Berbicara konflik dan pertentangan ideologi di Indonesia, sebenarnya telah mencapai puncaknya pada tahun 1955. Manakala pada saat itu telah lahir 3 besar partai pemenang pemilu, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh Presiden Soekarno, ketiga kekuatan politik tersebut diakomodir dengan sebutan NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Ketiga kekuatan politik inilah yang terus memarnai peta percaturan politik di tanah air sampai kini. Ketika ada tiga pihak yang berseteru, maka berlaku sebuah anekdot, " musuh dari musuh adalah kawan".Â
Katakanlah saat ini kekuatan politik yang berkuasa di Indonesia adalah dari kalangan Nasionalis. Ketika musuh politik dari kalangan Nasionalis (Kaum Agama dan Kaum Komunis), menginginkan untuk mengambil alih kekuasaan, maka mereka berbuat seolah-olah mendukung kaum Nasionalis.Â
Bagi kekuatan politik Agama, mereka akan melempar isu adanya kebangkitan komunis yang mengancam keberadaan Pancasila. Begitupun sebaliknya, bagi kekuatan politik Komunis, mereka melempar isu adanya kelompok intoleran dan radikal yang akan mengganti dasar negara Pancasila.
Bagi sebagian rakyat , sesungguhnya perseteruan politik maupun ideologi bukanlah perkara yang penting. Banyak di antara rakyat yang tidak peduli dengan perseteruan politik dan kekuasaan yang terjadi, sepanjang tidak mengganggu masalah "perut".Â
Hal inilah yang sangat dipahami oleh Pemerintahan Orde Baru, sehingga progam utama mereka adalah mengenyangkan perut rakyat, sementara di lain sisi membungkam kaum minoritas kritis.
Sudah saatnya kita berkata jujur pada sejarah. Jangan sekali-kali kita melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami sejarahnya.Â
Katakan yang benar walaupun pahit. Cukuplah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum menjadi tujuan kita bernegara, dengan tetap berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H