Pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi, ternyata pada akhirnya sampai menembus benteng pertahanan sebuah rumah tangga.Â
Sebagaimana dilansir kompas.com pada 28/08, tingkat perceraian -khususnya di Jawa Barat-meningkat pasca pandemi Covid-19. Kali ini gugatan perceraian lebih didominasi oleh kaum istri, mereka menggugat cerai suaminya karena alasan ekonomi.
Kondisi pandemi Covid-19 telah banyak menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan terhadap para karyawannya. Sehingga pada akhirnya banyak di antara para suami yang tidak memiliki pekerjaan lagi alias menganggur.Â
Apakah aspek ekonomi merupakan penyebab utama dari sebuah perceraian?. Kalau kita mau jujur, sebenarnya yang menjadi alasan terbentuknya sebuah keluarga melalui pernikahan adalah tentang komitmen dan kematangan psikologis antara kedua belah pihak.Â
Jika kedua belah pihak sudah memiliki komitmen awal tentang alasan pernikahan, dan memiliki kematangan psikologis untuk memahami setiap kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka tidak akan pernah terbesit dalam pikiran sedikitpun tentang sebuah kata "perceraian".
Perceraian bukanlah sebuah solusi cerdas dari sebuah permasalahan pernikahan yang menyangkut ekonomi. Sepasang suami istri yang terikat perjanjian sakral ketika akad nikah, tentunya tidak akan mudah untuk memutuskan cerai hanya gara-gara hidup dalam kekurangan.Â
Apakah ketika nanti sudah bercerai, kondisi ekonomi akan membaik?, bagaimana nasib anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya?.
Jika masalah ekonomi menjadi alasan utama perceraian pada masa pandemi ini, ada baiknya pemerintah memberi solusi berupa peningkatan bantuan tunai atau sejenisnya kepada para pasangan suami istri yang rawan cerai atau berniat cerai.Â
Kantor Urusan Agama tidak serta merta memuluskan niat mereka untuk bercerai, namun terlebih dahulu memberikan mediasi dan edukasi seputar masalah keutuhan rumah tangga dan dampak negatifnya jika perceraian benar-benat terjadi.
Jangan sampai seperti pepatah, "sudah jatuh tertimpa tangga ", sudah jatuh kehilangan pekerjaan, kehilangan istri pula. Sebuah nasib tragis yang menimpa para suami tentunya.
Dalam pernikahan, yang paling dibutuhan adalah kesetiaan. Setia baik di kala suka maupun duka. Setia di waktu muda maupun di kala senja. Setia bersama dalam mengarungi ombak kehidupan, sampai menepi di ujung waktu.