Empat hari yang lalu, tepatnya pada 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, telah dideklarasikan "Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia" atau yang disingkat KAMI. Tokoh-tokoh yang hadir dan terlibat dalam deklarasi KAMI di antaranya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, Mantan Panglima TNI, Jenderal purnawirawan Gatot Nurmantyo , Ketua Umum Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26) K.H Rochmat Wahab, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, pakar hukum tata negara Refly Harun, ekonom Ichsanudin Noorsy, Menteri Kehutanan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, MS Kaban, intelektual publik dan pengamat politik Rocky Gerung, serta sejumlah tokoh lainnya. Â
Dalam deklarasinya, KAMI menuntut delapan hal yang merupakan butir-butir keprihatiannnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan HAM, termasuk sumber daya alam.
Delapan butir tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, MPR, DPR, dan DPD untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dalam poin ini diharapkan agar penyelenggara negara, baik ekskutif maupun legislatif harus menjadikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar berpijak dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara. Penyelenggara negara harus mampu mengimplementasikan tujuan negara yang telah jelas termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.Â
2. Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.
Dalam poin kedua ini, KAMI menilai pemerintah belum sungguh-sungguh dalam mengatasi akar masalah pandemi COVID-19. Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah membawa ekses pada masalah ekonomi yang berdampak luas. Namun, akar masalah utamanya adalah faktor kesehatan dan keselamatan setiap warga negara. Jangan sampai terjadi seleksi alam berupa herd imunity (kekebalan kelompok)Â yang sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah korban Covid-19.Â
3. Menuntut pemerintah bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, guru/dosen, tenaga kerja bangsa sendiri, pelaku UMKM dan koperasi, serta pedagang informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing.
Dalam poin ketiga ini, KAMI menuntut pemerintah agar lebih mementingkan kepentingan rakyat miskin, dan tidak lagi mementingkan kepentingan pengusaha besar. Kita perlu ingat beberapa bulan lalu, pemerintah demikian bersemangatnya untuk segera membuka mal-mal besar dengan alasan agar roda ekonomi kembali berputar. Padahal dengan tutupnya mal-mal besar tidak berdampak apa-apa terhadap rakyat kecil, rakyat tetap dapat melakukan aktifitasnya seperti biasa. Justru dalam waktu yang bersamaan pemerintah belum membuka pasar tradisional yang menjadi denyut nadi perekonomian kaum "wong cilik".Â
4. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kepada pemerintah dituntut untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.
Dengan kasat mata dapat kita saksikan karut marutnya pembentukan hukum di Indonesia saat ini. Banyaknya polemik penetapan beberapa Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang membuktikan adanya sesuatu "yang salah" dalam proses pembentukan hukum. Ditambah lagi adanya penegakkan hukum yang terkesan tebang pilih, di satu kelompok cepat penanganannya , namun di kelompok lain seolah dibiarkan.