Tahun Ajaran baru 2020 sudah berjalan sekitar dua pekan, tepatnya terhitung sejak dimulainya pada tanggal 13 Juli 2020 yang lalu. Banyak hal yang menjadi kebiasaan baru yang belum atau jarang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Yang paling menyolok dari kebiasaan baru pada tahun ajaran 2020 adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis e-learning.Â
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis e-learning dilakukan karena memang pembelajaran tatap muka belum dibolehkan terkait masih terjadinya pandemi covid-19 meliputi sekitar 94 % wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Sebenarnya pembelajaran berbasis e-learning sudah digaungkan jauh sebelum adanya pandemi covid-19, dalam rangka menguasai kecakapan abad 21 dan menyambut revolusi industri gelombang keempat (era millenial 4.0). Namun pada pelaksanaannya penggunaan e-learning belum terlalu marak, jika dibandingkan setelah pandemi.
Banyak hal yang menjadi penghambat dalam penggunaan e-learning ini, di antaranya:
1. Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah meliputi guru sebagai pendidik di sekolah, para orang tua/wali, dan peserta didik. Guru adalah subjek pertama yang harus terlebih dahulu menguasai teknologi pendidikan, salah satunya adalah e-learning.Â
Namun ternyata tidak semua guru cepat beradaptasi dengan penggunaan teknologi tersebut. Masih banyak detail-detail dari aplikasi e-learning yang harus dipelajari seorang guru, dimulai dari mengunggah materi berupa file atau video, mengolah nilai, mengecek daftar hadir, dan lain-lain.Â
Peran penting orang tua juga sangat dibutuhkan dalam mengawal penggunaan e-learning yang berbasis data internet. Banyak orang tua yang karena kesibukannya, tak punya cukup waktu untuk memonitor anaknya, apakah anaknya sedang menggunakan handphone untuk belajar atau untuk bermain games atau lainnya.
2. Sumber Daya Ekonomi. Â Sumber daya ekonomi yang dimaksud adalah ketersediaan biaya yang cukup untuk mengikuti pembelajaran berbasis e-learning.Â
Sudah sama-sama kita ketahui, kondisi pandemi tidak hanya berdampak pada masyarakat miskin saja, namun juga telah menimbulkan munculnya golongan masyarakat yang rawan miskin.Â
Sementara pemenuhan kebutuhan pokok saja belum mencukupi, namun mereka harus mengeluarkan biaya tambahan berupa konsumsi kuota internet yang terbilang cukup mahal.Â
Banyak pula kita dengar, dalam sebuah keluarga terjadi dilematis. Sebagai contoh, adanya seorang ayah pengemudi ojek online yang tidak bekerja hanya gara-gara handphonenya dipakai anaknya untuk pembelajaran e-learning. Â Belum lagi kita dengar adanya cerita seorang ibu harus berhutang demi membeli handphone second untuk anaknya.