Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buah Simalakama Itu Bernama Covid-19

18 Juli 2020   15:42 Diperbarui: 19 Juli 2020   09:27 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini kita berada dalam kondisi serba sulit, seperti buah simalakama. Maju salah mundurpun salah. Ya, pandemi covid-19 membuat segalanya menjadi serba sulit. Tadi pagi, saya kebetulan mencukur rambut di tukang cukur langganan saya, kemudian untuk membuka suasana saya bertanya kepada si akang tukang cukur tersebut. "Kang, bagaimana selama covid ini, ramai ga?. Wah..sepi, paling-paling sehari cuma sepuluh orang, padahal buka dari pagi sampai malam!", pernah malah sehari cuma lima orang", terangnya pada saya. Belum lagi selama sepekan kemaren, saya banyak bertemu dengan para orang tua murid yang meminta keringanan bayar SPP anaknya. "Pak ada keringanan bayar SPP ga?, soalnya suami saya sekarang sudah ga kerja lagi". Sebenarnya dalam hati sayapun berkata, "kalau banyak orang tua yang menunggak dalam membayar SPP, lantas nanti honor para guru swasta dari mana?.

Pandemi covid-19 memang benar-benar buah simalakama. Ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan dengan tujuan agar roda perekonomian tetap berputar, namun akibatnya justru kasus positis covid-19  terus meningkat. Jika Pembatasan Sosial kembali diperketat, maka dikhawatirkan akan terjadi resesi ekonomi bahkan pertumbuhan ekonomi akan menjadi minus. 

Permasalahan ini pun merambah di dunia pendidikan. Jika Tahun Pelajaran baru ditunda sampai bulan Januari akibat pandemi, maka dikhawatirkan akan terjadi kebodohan pada sebagaian besar siswa karena tidak ada proses pembelajaran. Namun kalau Tahun Pelajaran baru tetap berjalan seperti biasanya yaitu pada bulan Juli, dikhawatirkan akan memunculkan klaster baru covid-19. 

Sebagai jalan tengah, akhirnya pemerintah tetap memulai Tahun Pelajaran baru pada bulan Juli 2020, namun tidak ada pembelajaran tatap muka di sekolah. Kesulitan mulai tampak sejak masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena keterbatasan akses komunikasi langsung sampai dengan saat ini. 

Kesulitan sangat terasa, khususnya para orang tua murid jenjang SD/MI. Mereka merasa bingung dengan nasib sekolah anak-anaknya yang baru masuk SD/MI, apalagi bagi mereka yang harus bekerja. 

Ditambah lagi dengan masih mahalnya kebutuhan akan kuota internet yang menjadi keluhan mereka, sementara untuk kebutuhan pokok saja masih belum tercukupi secara maksimal.

Dengan konsep Belajar Dari Rumah (BDR), maka semua proses pembelajaran berlangsung dari rumah dan tidak diperkenankan berlangsung secara tatap muka. Dengan demikian, kebutuhan akan media internet menjadi utama walaupun bukan satu-satunya. Hanya saja ini menjadi masalah pada sebagian besar siswa. Banyak orang tua yang mengeluhkan bahwa sejak diberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring/online sejak bulan Maret lalu, anak-anak mereka semakin sering menggunakan handphone di waktu malam, alasannya karena di waktu pagi-siang hari digunakan buat belajar. 

Para siswapun harus melakukan penyesuaian akademik, karena mereka harus belajar beradaptasi dengan kebiasaan belajar yang baru, membatasi interaksi sosial dengan teman-temannya, dan mengalami perasaan-perasaan  negatif lainnya

Para guru harus betul-betul memahami bahwa prinsip Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik, fokus pada pendidikan kecakapan hidup yang bersifat inklusif dan kontekstual, serta penugasan yang bervariasi sesuai dengan minat dan kondisi setempat peserta didik. 

Pendidik harus memberikan umpan balik yang bersifat kualitatif dan mengedepankan pola interaksi yang positif dengan siswa dan orangtuanya. Hal ini harus dilakukan demi mencegah terjadinya kebosanan dan stress pada peserta didik.

Antara Pandemi  dan pertumbuhan ekonomi memang berbanding terbalik. Jika kita ingin pertumbuhan ekonomi meningkat, maka kita harus kerja keras agar tingkat pandemi menurun, namun sebaliknya jika tingkat penyebaran dan penularan covid-19 terus meningkat, maka pertumbuhan ekonomi akan  menurun dan terjadi ancaman resesi. 

Artinya, jika kasus infeksi masih tinggi, sulit bagi ekonomi untuk dipacu kembali. Sebaliknya, laju ekonomi mulai kembali merangkak naik apabila kurva Covid-19 di sebuah negara sudah melandai.

Semoga kita bisa keluar dari kondisi yang serba sulit ini. Sebagai umat beragama marilah kita kembali berintrospeksi dan bertanya kepada diri kita masing-masing sudahkah kita memohon ampun kepada Allah swt agar negeri kita segera dibebaskan dari segala macam penyakit dan musibah. 

Mudah-mudahan setelah kesulitan datang kemudahan;  syaratnya sabar, senantiasa berbuat baik dan jujur, jangan curang dan mengambil hak milik orang lain dengan jalan korupsi, dan tetap mengutamakan kesehatan.***

Referensi :

https://bebas.kompas.id/

https://www.cnnindonesia.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun