Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polemik RUU PKS

4 Juli 2020   18:50 Diperbarui: 4 Juli 2020   22:21 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersiarnya kabar ditariknya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, menimbulkan polemik di tengah masyarakat. 

Pembahasan RUU PKS ini sebenarnya sudah cukup lama. Pada tahun 2012 Draft RUU ini mulai digagas oleh Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan). Namun hingga berjalan delapan tahun RUU PKS ini belum kunjung disahkan.

Masih adanya perdebatan di Panja DPR terkait beberapa poin, termasuk soal judul yang tepat untuk RUU tersebut dan beberapa definisi yang belum menjadi kesepakatan karena dinilai memiliki makna ganda serta kaitannya dengan pidana serta pemidanaan.

Ada sembilan hal yang termasuk Kekerasan seksual dalam draft RUU PKS yaitu: tindak pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Tindakan kekerasan seksual termasuk yang terjadi dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam, dan situasi khusus lainnya. Dari definisi kekerasan seksual ini, masih menyisakan polemik terutama seputar kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup keluarga. Seorang istri yang merasa dipaksa untuk melayani suaminya berhak untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai ketentuan mengenai definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. 

Bahkan, kata Jazuli, RUU PKS menciptakan budaya permisif atas perilaku seks bebas dan perzinaan. Sementara Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan, RUU PKS tersebut tidak merujuk pada nilai-nilai agama. Padahal itu merupakan amanat dari Pancasila sebagai dasar negara.  

Menurut penulis, RUU PKS ini perlu dicarikan nama yang lebih sesuai. Masih banyak orang yang berasosiasi ketika mendengar nama RUU PKS, langsung mengarahkannya pada nama sebuah partai yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Padahal dalam proses perjalanan RUU ini justru fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) banyak mengkritisi dan tidak setuju dengan beberapa poin. Kemudian, dari kata "Penghapusan" memiliki makna sesuatu yang sudah terjadi (tertulis) baru dihilangkan. 

Sementara aspek "Pencegahan" dari kekerasan seksual kurang menjadi perhatian. Padahal, suatu kekerasan seksual bisa terjadi karena disebabkan tidak hanya oleh niat dan perbuatan pelaku, namun terkadang juga ditimbulkan oleh perilaku "korban". Banyaknya kaum perempuan yang berpenampilan "mengundang" dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Hal ini mestinya turut diatur dalam RUU tersebut. Adanya keseimbangan antara aturan pencegahan, penanganan, dan penghapusan dari kekerasan seksual yang tidak memihak pada salah satu gender, namun harus berkeadilan. Tidak selamanya kekerasan seksual dilakukan oleh pria terhadap wanita, namun bisa juga sebaliknya.

Dengan dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas 2020, menandakan bahwa kinerja DPR belum maksimal. DPR beralasan tidak cukup waktu untuk melakukan pembahasan RUU PKS ini karena masih banyaknya hal-hal yang belum disepakati dan ditambah kondisi pandemi covid-19. Namun di sisi lain, Justeru komisi VIII DPR mengusulkan untuk memasukkan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia Untuk masuk Prolegnas 2020.

Sebuah peraturan Perundang-undangan yang mampu mencegah dan menghapuskan kekerasan seksual memang sangat diperlukan. Apalagi saat pandemi ini tingkat kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan meningkat 800 %. Sebenarnya upaya pencegahan kekerasan seksual berawal dari keluarga. Di dalam Keluarga seyogyanya terjadi penanaman nilai -nilai dan norma kesusilaan, nilai - nilai agama dan religiusitas yang kemudian diperkuat oleh institusi pendidikan, serta contoh kebaikan di lingkungan masyarakat. Sementara tugas negara adalah memberi "pagar" yang jelas mengenai aturan yang bersifat memaksa dan sanksi yang tegas bagi yang melanggar dengan menjadikan nilai-nilai agama dan pancasila sebagai landasan berpikir.***

Salam. Ropiyadi ALBA 040720 

1  2   3  4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun