Menilai keberhasilan suatu program kerja memang tidak bisa diukur hanya melalui hasil yang telah dicapai selama 100 hari pertama. Namun begitu, sebuah program kerja harusnya telah dilengkapi dengan time line yang jelas sehingga siapapun akan bisa  menilai tingkat keberhasilannya secara jangka pendek, Menengah, dan panjang dari sisi yang objektif dan proporsional.
Berbicara 100 hari pertama Jokowi Ma'ruf, kita dapat menilainya dari berbagai aspek, baik Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial budaya, maupun Pertahanan dan Keamanan. Secara menyeluruh keseluruhan aspek tersebut sangat menentukan maju mundurnya atau berhasil gagalnya sebuah pemerintahan suatu negara.
Di awal pemerintahan Jokowi Ma'ruf, masyarakat kembali dihebohkan dengan pemberitaan seputar Ideologi. Isu radikalisme agama dan sparatisme menjadi isu yang memanas di awal-awal kabinet kerja jilid II. Pertarungan El calasico antara Ideologi Nasionalis, Agama, dan Komunis kembali muncul di beberapa media. Ada sebagian masyarakat khawatir dengan kebangkitan Ideologi Komunis yang saat ini berkiblat pada Tiongkok. Di lain pihak ada kekhawatiran pula seputar kemunculan kembali Islam sebagai gerakan Ideologi dan politik yang mengusung Syariah dan khilafah.
Pihak pemerintah yang nota bene berada pada posisi kelompok nasionalis berupaya menekan kelompok Islamis dengan tuduhan radikal dan anti Pancasila namun disaat yang bersamaan tidak melakukan hal yang sama pada kelompok yang diduga berafiliasi pada paham komunis. Pemerintah melalui BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) dinilai belum memainkan peranan yang tepat dalam menjaga stabilitas kehidupan bernegara sehingga riak-riak seputar polemik dasar dan ideologi negara selalu menjadi PR yang belum terselesaikan.
Dalam bidang politik kita saksikan, ribut-ribut seputar jatah kursi menteri mewarnai awal pemerintahan Jokowi Ma'ruf. PDI Perjuangan yang meminta jatah kursi paling banyak, ternyata harus menerima takdir hanya dapat 4 kursi dan itupun dianggap kurang strategis. Sementara Partai Nasdem harus lapang dada menerima pihak oposisi (Partai Gerindra) yang selama ini berkompetisi untuk masuk dalam jajaran kabinet dan mengisi 2 kursi menteri yang cukup strategis. Kenyataan ini seolah telah membuka poros baru perpolitikan tanah air, paling tidak menjelang Pilkada dan Pilpres 2024 mendatang.
Dalam bidang ekonomi, suka atau tidak suka kita harus akui bahwa pertumbuhan ekonomi kita masih di bawah target, hanya pada kisaran di bawah 5% bahkan utang luar negeri dan utang BUMN makin meningkat. Sementara kasus-kasus korupsi makin merajalela, baik yang melibatkan pejabat di kementrian maupun di lingkup BUMN, dari pusat sampai daerah. Sementara kewajiban warga negara diperberat dengan dicabutnya subsidi Bahan Bakar Minyak, listrik, dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.Â
Dalam bidang pendidikan, kita melihat gebrakan Mendikbud Nadiem Makarim yang akan menghapus Ujian Nasional pada Tahun Pelajaran 2020/2021 dan menggantinya dengan Assesmen Penilaian Kompetensi Minimal dan Literasi Karakter memberi harapan baru bagi perubahan yang lebih baik dan efisiensi anggaran UN yang cukup besar. Namun perlu dilihat juga Kerangka besar dari kebijakan tersebut harus sudah dipersiapkan dengan matang, jangan sekedar ide namun perangkat aturannya belum jelas.
Termasuk diantaranya, kebijakan penghapusan Ujian Sekolah Berstandar Nasional(USBN) menjadi Ujian Sekolah (US) pada Tahun Pelajaran 2019/2020 ini terkesan dipaksakan. Banyak dari unsur Sekolah atau Satuan Pendidikan yang masih terlihat gagap dalam mempersiapkan perangkat Ujian Sekolah (US), dan masih berkutat pada masalah komponen Ujian Sekolah (US) seperti fortopolio, penugasan, dan ujian tulis.
Sementara di aspek pertahanan dan keamanan, masa 100 hari kabinet Jokowi Ma'ruf masih mendapat ujian seputar zona perbatasan dan kedaulatan negara. Perairan Natuna menjadi Ujian kedaulatan Republik Indonesia atas masuknya nelayan asing seperti Vietnam, Thailand, dan Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Bahkan kapal nelayan Tiongkok yang mendapat pengawalan dari coast guard mereka dengan sangat berani berlayar sangat dekat dengan wilayah Indonesia bahkan sampai menabrak kapal nelayan Indonesia. Di sisi lain memang perlu diakui adanya sejumlah kemajuan diplomasi di bidang pertahanan, terkait kesepakatan penjualan produk-produk pertahanan buatan dalam negeri ke sejumlah negara sahabat.
Berbicara 100 hari kinerja kabinet Jokowi Ma'ruf, tidak lepas dari peran Jokowi sebagai Presiden dan Ma'ruf Amin sebagai wakil Presiden. Namun publik lebih sering melihat Jokowi dan sejumlah menteri yang aktif di depan publik. Sementara peran Wapres belum terlalu terlihat bahkan lebih banyak didominasi oleh para menteri.
Untuk itu kedepannya, dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang efektif antar bidang kementrian. Tidak perlu ada lagi kebijakan yang tidak populis, yang justru akan mendelegitimasi kepercayaan rakyat. Rakyat jangan disuguhi dengan isu-isu yang meresahkan dan membuat sikap apatis terhadap masa depan bangsa dan negaranya.
Segera ambil tindakan evaluasi kinerja tiap kementrian, bahkan kalau perlu segera lakukan reshuffle kabinet, khususnya di beberapa kementrian seperti kementrian agama, kementerian Hukum dan HAM, kementrian ESDM, kementrian Perikanan.Â
Semoga dengan sudah memasuki 100 hari kabinet Jokowi Ma'ruf ini, dapat menjadi catatan penting mengenai apa yang sudah tercapai, dan hal-hal lain yang masih belum tercapai menuju Indonesia Maju dan Berdaulat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H