Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Desember. Â Sebagian kita teringat dengan peristiwa yang terjadi tiga tahun yang lalu di awal bulan Desember, tepatnya 2 Desember 2016.
Peristiwa 2 Desember 2016 yang bertajuk "Aksi Bela Islam" tersebut berawal dari sebuah reaksi terhadap pidato kunjungan kerja Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama yang terjadi pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu.
Kunjungan ini dilakukan untuk melakukan peninjauan serta pengarahan terkait program pemberdayaan budi daya ikan kerapu yang ia adakan.
Dalam pernyataannya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok  berusaha meyakinkan warga bahwa programnya akan terus berjalan meski ia tidak terpilih sebagai Gubernur pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan berlangsung pada Februari 2017. Video aktivitas Ahok ini pun diunggah melalui akun Youtube pemerintah Provinsi DKI Jakarta .Â
Dalam kurun waktu selanjutnya, sekitar sembilan hari pasca pidato kunjungan kerja tersebut dilakukan, mulai tersebar potongan pidato Ahok yang dianggap menyinggung dan "menista" kitab suci Ummat Islam.
Peristiwa ini akhirnya memunculkan reaksi ummat Islam lintas ORMAS untuk mendesak pihak kepolisiaan agar segera mengusut masalah tersebut. Pada awalnya kasus ini berjalan lambat dan terkesan pihak kepolisian tidak serius dalam menanganinya, sehingga berdampak reaksi massa semakin besar.
Sampai pada puncaknya terjadilah Aksi Bela Islam III pada hari Jum'at 2 Desember 2016 di Monas. Aksi ini merupakan peristiwa fenomenal dan baru sekali terjadi dalam sejarah Indonesia.
Jutaan Massa yang datang dari segenap penjuru- bahkan dari luar Jawa- terkonsentrasi pada satu titik dalam suasana yang super damai. Suasana yang membawa kesejukan dan persaudaraan, tidak ada penjarahan, kerusakan, maupun kerusuhan.
Peristiwa yang terjadi pada 2 Desember 2016 ini, selanjutnya dikenal dengan aksi 212. Sebuah peristiwa yang sesungguhnya membawa nilai-nilai dan semangat taat hukum, semangat toleransi, semangat persatuan bangsa, semangat siap mati untuk bela bangsa dan negara, semangat iman dan pancasila.
Dengan didorongkan oleh semangat inilah maka dirasa perlu untuk merawat terus semangat 212 sehingga perlu diselenggarakan suatu kegiatan bertajuk Reuni 212. Kegiatan Reuni 212 ini paling tidak sudah berjalan dua kali yaitu di tahun 2017 dan 2018, dan kesemuaannya berjalan dengan damai, penuh persaudaraan dan toleransi.
Reuni 212 akan digelar kembali untuk yang ketiga kalinya pada senin 2 Desember 2019. Kegiatan kali ini akan diselenggarakan oleh Persaudaraan Alumni 212 dengan ketua panitianya Awit Mashuri. Reuni 212 yang ketiga ini bertajuk " Munajat dan Maulid Akbar  # Reuni Mujahid 212.
Awit Mashuri menghimbau kepada orang yang tidak sependapat dengan kegiatan ini untuk tetap menjaga ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniah, menjaga kesatuan dan persatuan.
Menurut rencana, kegiatan ini akan dimulai dengan Salat Tahajud dan Salat Subuh berjamaah dilanjutkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Panitia reuni 212 menyebut acara tersebut telah mengantongi izin dari Gubernur DKI Anies Baswedan.
Banyak yang Pro dan Kontra dengan kegiatan ini. Bagi yang kontra, buat apa acara ini digelar?, tidak ada gunanya, Politis!. Demo-demo dilakukan untuk menggagalkan acara ini, desakan pencabutan perizinan dilakukan, bahkan ada upaya penggiringan opini bahwa kegiatan ini berpotensi memecah belah persatuan bangsa, intoleran, dan anti pancasila.
Bagi yang pro, Reuni 212 merupakan momentum penting untuk merawat nilai-nilai persatuan, semangat pengorbanan dan persudaraan. Aksi 212 membawa semangat taat hukum dan tidak keluar dari jalur konstitusi.
Setiap aksi yang dilakukan telah mengikuti syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Nilai-nilai yang dibangun adalah nilai-nilai cinta tanah air dan bangsa, semangat toleransi intern umat beragama dan antar umat beragama sangat dijunjung tinggi.
Salah satu isu yang sepertinya akan menguat pada Reuni 212 kali ini adalah kasus pidato Sukmawati yang dianggap menghina nabi Muhammad. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan berdiri di atas semua golongan, partai, dan kepentingan. Keadilan harus menjadi nyata di negeri Pancasila ini.
Terlepas dari pro kontra yang ada, kita tidak boleh lupa bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Sehingga kebebasan setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat harus dilindungi.
Sehingga tidak boleh ada kekhawatiran dari semua pihak terhadap suatu kegiatan mengeluarkan pendapat di ruang publik selagi kegiatan tersebut sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat konstitusional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H