Mohon tunggu...
NoVote
NoVote Mohon Tunggu... Guru - Mohon maaf jika tak bisa vote balik dan komen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Khawatir, tapi Setelah 14 Hari Apa yang Kita Lakukan?

16 Maret 2020   14:23 Diperbarui: 17 Maret 2020   11:11 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat belas hari memang waktu yang singkat jika dibandingkan dengan berapa usia kita. Apalagi jika dibandingkan dengan kelangsungan umat manusia. Namun jika pembandingnya adalah 24 jam dengan 3 kali makan maka akan sangat lama.

Bukan tentang seberapa betah kita tinggal mengurung diri dalam rumah. Tak ada rumah yang menyebabkan penguhinya tidak betah. Aneh saja ketika seseorang mengatakan bosam berlama-lama tinggal di dalam rumah. Berarti ada yang salah dengan interior rumah atau penghuni rumah.

Rumahku adalah sorgaku, begitu biasanya tertulis di depan pintu masuk. Sebuah ajakan mulia agar siapa pun penghuni rumah merasa nyaman dan betah di dalam rumah. Bagaimana pun bentuknya. Mau megah bak istana, atau gubuk reot dengan atap bocor-bocor. Tetap saja suka atau tidak suka tinggal di rumah memiliki kenyamanan tersendiri.

Sekarang kalau 14 hari x 3 kali makan sama dengan 42 piring nasi beserta lauk pauknya untuk satu orang anggota keluarga. Standar masyarakat dalam sebuah keluarga seperti yang dicanangkan program KB adalah dua anak cukup. Artinya rata-rata dalam satu rumah tinggal 4 orang. 42 kali 4 sama dengan 168 porsi.

Warteg saja dengan harga 15 ribu satu porsi dengan teh tanpa gula, tak perlu tambah kerupuk atau lalapan jengkol dan petai mentah. Maka 15 ribu x 168 porsi adalah Rp 2.520.000. Bagi mereka yang memiliki diposito atau tabungan tersimpan di bank tak masalah. Uang sebegitu tak ada artinya.

Bagi mereka yang kaya atau berada, bahkan kangganan internet saja sudah 600 ribu perbulan. Kado kalau cuma  2.520.000 selama 14 sungguh sangat kecil. Sebuah nilai yang tak berarti sama sekali.

Kita semua menyadari, kebutuhan pokok dan paling azasi dari kehidupan manusia adalah makan. Tak bisa hidup jika tak makan. Terus untuk kebutuhan lockdown entah oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah atau oleh diri sendiri tetap saja harus menyediakan anggaran minimal 2.520.000 selama 14 hari.

Oke lah, uangnya tak ada sekarang. Bisa hutang pada yang mau meminjami. Ada tetangga yang baik hati. Daripada ntar tertular dan menulari. Maka dipinjamilah uang sebanyak yang diperlukan. Dengan jaminan setelah aman dan bisa bekerja akan dibayar.

Gali lubang tutup lubang sudah menjadi kebiasaan bagi hampir seluruh masyarakat. Makanya jangan heran ketika penjol masih saja bisa hidup dan berkeliaran. Kebutuhan tak sebanding dengan penghasilan. Dan besar pasak daripada tiang bukan barang baru. Memang nyatanya begitu.

Anggaplah setelah 14  hari libur kembali bisa aktifitas seperti biasa lagi. Benarkah vorus corona telah pergi? Jangan-jangan kian bertambah lagi. Khawatir sih boleh. Bukan sebuah apriori yang mengendurkan semangat untuk menatap hari esok yang lebih baik.

Nyatanya di Wuhan sendiri, sampai kini belum ada tanda-tanda terbebas dari virus corona. Dengan terpaksa menjalani kehidupannya dengan adaptasi. Toh nyatanya hidup harus dijalani. Mencari makan tetap menjadi kewajiban kepala keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun