Aduhai, apalagi ini? Seorang kepsek yang lagi mau ditingkatkan kompetensinya oleh Mas Nadiem malah melalukan tindakan amoral pada peserta didiknya. Lewat sekolah penggerak, lewat pelajar pancasila, lewat compassion malah mencoreng wajah pendidikan di Indonesia lagi.
Saya sangat sedih membaca laman wiken.grod.id, Oknum Kepala Sekolah SMA di NTB Cium Siswinya dengan Modusnya Ajak Selfie di Kelas Kosong, Begini Aksinya! (12/3/2020). Mencium dan merangkul paksa siswi di kelas kosong dengan alasan selfi. Seperti apa sih rasanya? Heran, kok ada saja tindakan begini.Â
Tak hanya kejadian ini. Banyak peristiwa lain yang serupa membuat kita semua miris mendengar dan membacanya.
Memangnya di rumah tak ada istri atau apa? "Eleng" pak, bagaimana kalau putri bapak diperlakukan seperti itu. Bersyukurlah polisi sudah meringkus oknum kepsek tersebut.
Kepala sekolah yang seharusnya mampu dan mengerti proses pembelajaran siswa dan mampu mengembangkan guru yang berpihak pada siswa, menghasilkan profil Pelajar Pancasila, dan adanya dukungan komunitas yang mendukung proses pendidikan di dalam kelas. Malah melakukan tindakan amoral pada siswinya.
Kepala sekolah yang seharusnya menjadi ujung tombak pengembangan guru yang berpihak pada siswa malah berpihaknya melecehkan siswi. Sungguh perbuatan tidak terpuji.
Kepala sekolah yang seharusnya mampu menghasilkan "Pelajar Pancasila" malah mencoreng moreng isi butir Pancasila sendiri.
Seharusnya seleksi pengangkatan kepala sekolah perlu mempertimbangkan hasil tes psikologi. Calon kepala sekolah yang berpeluang terindikasi tidak normal atau menyimpang perilaku seksualnya dapat disingkirkan dari pencalonan kepala sekolah. Apalagi mengangkatnya sebagai kepala sekolah.
Memang rentan berada di depan siswi yang dengan mata tak normal akan melihat mereka sebagai sasaran empuk pelecehan.
Jadi jangan heran ketika siswi SMA yang lagi mekar-mekarnya, harum-harumnya membuat tergoda. Kewenangan kepala sekolah sebagai pimpinan jelas adalah penguasa di sekolah. Apa pun bisa terjadi. Baik pelecehan terhadap siswi maupun terhadap guru perempuan.
Program sekolah penggerak yang mengusung siswi sebagai Pelajar Pancasila yang memiliki 6 profil utama, yaitu berakhlak mulia, kreativitas, gotong-royong, bebhinekaan global, bernalar Kritis, dan mandiri.
Bagaimana mungkin dapat terlaksana ketika kepala sekolahnya tidak berakhlak mulia. Padahal akhlak mulia buka pelajaran yang hanya dihapal dan dimengerti, namun harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kepala sekolah menjadi teladan dalam setiap tindakannya yang mencerminkan akhlak mulia.
Demikian juga menggerakkan guru dan siswa untuk kreatif, bukan dengan selfi kemudian kreatif mencuri mencium siswi. Tindakan kreatif yang memalukan. Harusnya kreatif diwujudkan dalam peningkatan kewirausahaan yang tertanam kuat pada diri seluruh warga sekolah.
Kalau hanya memeluk dan mencium berpikir akan mendapatkan kenikmatan, fungsi nalarnya ada di mana? Tergoda boleh, namun nalar juga tetap jalan. Bagaimana jika anak perempuan kita diperlakukan begitu. Rasanya pasti akan sedih.
Terlepas dari semua kasus-kasus perlakuan kepsek, guru, dan siswa kepada siswa lainnya dalam bentuk yang amoral memang tidak dibenarkan dan memantik rasa kemanusiaan. Hanya moral yang baik yang mampu menangkal semua tindakan itu.
Oleh karenanya sudah tepat apa yang dilakukan Mas Nadiem dengan program Sekolah Penggerak, dan Pelajar Pancasila yang disasarkan kepala kelapa sekolah. Dengan harapan kepala sekolah akan menjado ujung tombak pergerakan tersebut.
Kita semua pasti tak ingin lagi mendengar dan membaca ada perilaku pendidik dan kepala sekolah yang tidak sewajarnya terhadap guru dan siswa yang menjadi tanggung jawab untuk dilindungi, dikembangkan dan dimanusiakan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H