Mohon tunggu...
NoVote
NoVote Mohon Tunggu... Guru - Mohon maaf jika tak bisa vote balik dan komen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jam Kosong di Kelas, Memangnya Ada?

10 Maret 2020   18:36 Diperbarui: 10 Maret 2020   18:48 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kapan mulainya, istilah jam kosong sudah melekat pada benak siswa. Bila guru lambat masuk kelas atau berhalangan karena tugas luar atau pelatihan, isitilah jam kosong keluar dari mulut mereka.

Sejak di SD, hingga SMA istilah jam kosong sudah melegenda. Mengapa bisa?

Beberapa tahun lalu ketika dimuali pemberlakuan Kurikulum 13, perangkat pembelajaran jumlahnya setumpuk. RPP saja untuk satu KD bisa menghabiskan kertas 24 hingga 30 halaman. Belum lagi ditambah dengan perangkat penilaian, lembar kerja siswa, jurnal mengajar dan seterusnya. Sungguh menyita waktu guru untuk menyelesaikannya.

Kepala sekolah dan pengawas pembina memang mendapat tugas untuk memeriksa administrasi pembelajaran guru tersebut. Jadi guru mau tidak mau harus menyelesaikan tetap waktu. Saking banyaknya administrasi yang wajib diselesaikan akhirnya kelas pun tertinggalkan.

Semakin banyak guru yang mengerjakan tugas administtasi di kantor pada jam pembelajaran, maka kelas pun tertinggalkan. Pengawas harian tak akan mungkin menggantikan, mengingat guru yang bertugas saat itu ada di tempat. Kecuali yang bersangkutan tugas luar atau mengikuti pelatihan dan sebagainya.

Pada sekolah yang jumlah tenaga pendidiknya terbatas, memang sebagian besar guru mendapat tugas tambahan. Ada yang sebagai bendaharawan bos, pengelola ruang, bendahawaran bosda, bom, operator dapodik dan lain-lain. Sementara jumlah jam mengajar tidak dikurangi.

Akhirnya mau tidak mau, ketika pulang ke rumah para guru pun harus lembur. Jika tak selesai lemburannya terpaksa dikerjakan di sekolah lagi. Nah, waktunya untuk masuk kelas kemudian tersita dikejar batas akhir pelaporan dan sebagainya. Masuk kelas pun tidak dilakukan. Siswa menjadi nomor dua.

Padahal ketika kelas kosong inilah rawan terjadinya perundungan, kekerasa, dan sebagainya. Semakin sering kelas kosong maka akan semakin kasar dan beringas penghuni kelas.

Siswa tida serta merta disalahkan, namanya juga anak-anak. Kadang dimulai dengan bercanda, lalu saling balas. Semakin hari pembalasan demi pembalasan menjadi kebiasaan. Dan yang jelas yang kuat dan banyak teman yang punya banyak dukungan. Sementara yang kalah jadi korban perundungan.

Langkah Nadiem Makarim menghapuskan perangkat pembelajaran yang bertumpuk sedikit memberikan angin segar buat guru. Walau pun begitu, harusnya tugas tambahan bagi guru yang memang tidak berhubungan langsung dengan siswa dimintakan pada orang lain mengerjakannya.

Kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang dilarang juga memeberikan beban tersendiri buat kepala sekolah untuk mencarikan solusi bagi pengganti tugas tersebut. Jadi walaupun beban kerja dari pengurangan perangkat pembelajaran sudah berkurang, beberapa guru harus tela dianggap malas masuk kelas karena sibuk menyelesaikan laporan-laporan keuangan.

Jadi kalau ditanyakan, memangnya ada jam kosong di kelas ketika waktunya pelajaran dimulai? Jawabnya ada, bukan karena gurunya tidak ada tapi gurunya lagi sibuk mengerjakan tugas lain yang dikejar deadline.

Kalau ingin mengurangi kekerasan yang terjadi di sekolah, terutama di kelas oleh siswa sebaiknya memang guru hanya diberikan tugas mengajar dalam kelas saja. Sehingga para guru bisa fokus masuk ketoka bel berbunyi.

Sungguh kecil kemungkinanya ketika ada guru di depan kelas dan proses belajar mengajar berlangsung terjadi kekerasan antar siswa. Kecuali memang gurunya sedang tidak berada dalam kelas.

Mendikbud juga harus memikirkan dampak sertifikasi yang mewajibkan guru harus mengajar 24 jam tatap muka. Kadang di sebagian sekolah pinggiran, karena jumlah jam pelajaran yang tersedia tak mencukupi 24 jam memaksa para guru mencari sekolah terdekat.

Di daerah yang memiliki luas wilayah yang lyas seperti Kalimantan, jarak antar sekolah satu dengan sekolah lainnya sangat jauh.  Dengan begitu perjalanan yang ditempuh menjadikan guru terlambat tiba di kelas. Pada kondisi ini beberapa menit kelas juga akan kosong.

Oleh karena itu semua pihak, mulai dari kementrian pendidikan hingga jajaran di bawahnya sampai kepada kepala sekolah diminta bijak menghadapi kelas kosong. Siswa jangan sampai jadi korban.

Sekolah aman, nyaman, tertib, dan lancar adalah dambaan setiap orang. Orang tua, guru, kepala sekolah, dan siswa tentunya. Semoga suatu saat bisa terwujud. Aamin.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun