Menjegal orang lain untuk maju, sementara diri sendiri tak mau berpacu.
Begitulah istilah yang tepat digunakan untuk Ahok. Karir kepemimpinannya terbukti mampu melakukan perubahan dan inovasi. Buktinya ketika di Jakarta, mampu memimpin dan melakukan perubahan mendasar pada tatanan pemerintahan.
Sistem pemerintahan juga dikelola dengan strategi yang jitu, buktinya e-bugdeting terbukti ampuh menekan pelaku korupsi. Momok yang hingga kini masih menjadi musuh besar bangsa. Namun tetap menglilingi pemerintahan. Hingga KPK dilemahkan, dengan macam-macam peraturan.
Sejak di Bangka Belitung, usahanya menduduki jabatan kepala daerah batal karena terganjal masalah keyakinan. Dengan dalih yang begitu banyak dikemukakan. Intinya hanya satu, rasa tidak suka.
Aksi 212 yang mencoba menurunkan Ahok berhasil sempurna, melahirkan keponggahan. Merasa memiliki pengaruh besar kemudian melanjutkan dengan aksi serupa. Memangnya bisa pengadilan jalanan merubah tatanan negara. Padahal pemerintahan yang sah dan segala undang undang dan peraturannya memberikan peluang menata bangsa.
Memperbesar kekurangan yang dimiliki seseorang dan melupakan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya justru merupakan tindakan tidak terpuji. Bukankah lebih bijaksana jika kelebihan yang dimilikinya kita manfaatkan semaksimal mungkin guna membangun bangsa. Sementara kekurangan yang dimiliki kita awasi dan kita nasihati.
Setiap orang pasti memiliki peluang yang sama untuk berbuat baik dan berbuat salah. Lingkungan sekitar menjadi tempat yang subur terjadinya perubahan. Mengapa kesempatan itu tertutup untuk Ahok?
Tulisan ini tidak ingin mendukung Ahok, juga tidak ingin menafikan keistimewaan yang dimiliki Ahok. Saya lebih senang menyebutnya, anak manusia yang lahir di waktu dan tempat yang salah.
Jika sentimenisme terhadap Ahok sedikit saja diturunkan, lalu aksi jegal, aksi tolak dihentikan dengan sebuah kesadaran. Kemudian memberi peluang sekali saja kepada Ahok untuk menjadi kepala otorita Ibukota Negara yang baru bagaimana hasilnya. Kita lihat dan awasi bersama.
Mengingat pembangunan Ibukota Negara Baru adalah mega proyek dengan anggaran yang tak sedikit. Saya hanya membayangkan, ketika setiap butir fasilitas negara yang harusnya bertahan hingga puluhan tahun, bahkan mungkin mampu bertahan ratusan tahun karena tilep anggaran yang sudah menjadi kebiasaan hampir pada seluruh proyek pemerintah menjadi rusak sebelum waktunya.
Bukannya tidak percaya pada orang lain. Dua ratus delapan puluh juta manusia Indonesia, mosok tak satu pun yang benar sih... Kalau aksi tolak ahok, jegal Ahok dalam memimpin otorita di Ibukota Negara Baru masih menjadi issu besar. Mengapa tidak memikirkan siapa kandidat yang sepadan, yang mampu dengan tegas meyakinkan bangsa ini akan terhindar dari korupsi.
Nyatanya ketika menjabat sebagai komisaris pertamina banyak pembenahan yang telah dilakukannya. Padahal sebelumnya tempat ini menjadi ladang basah bagi para koruptor memperkaya diri.Â
Tetap saja, tak ada gading yang tak retak. Setiap orang pasti punya kekurangan. Siapa pun dia. Termasuk Ahok dan putra terbaik bangsa ini.
Jangan sampai Jokowi seperti memakan buah simalakama, mau menempatkan orang lain khawatir mega proyek Ibukota Negara Baru menjadi sarang koruptor baru. Sementara menempatkan Ahok mendatangkan gejolak politik yang lain lagi. Masalah baru juga.
Kita semua pasti tak ingin ibukota baru dibangun asal jadi. Kita ingin ibukota baru menjadi kebanggan negeri ini. Jadi apa salahnya kalau ada orang yang mampu terang-terangan menentang korupsi dan ketegasan itu telah terbukti ketika memimpin Jakarta diberikan kesempatan. Sekian.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H