Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hanya karena Absen Ujian Guru SMA di Kupang Dikeroyok 3 Siswanya, Mengapa?

5 Maret 2020   14:32 Diperbarui: 5 Maret 2020   17:40 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: news.harianjogja.com

Belum lagi berkedip mata, setelah menyaksikan viral sejumlah wali siswa mengamuk di Pesantren, tak terima anaknya dikeluarkan. (Kompas.com, 4/3/2020)

Setidaknya enam orang wali siswa datang beramai-ramai ke pondok tersebut dan protes kepada pimpinan pondok, karena anak mereka dikeluarkan.

Kompas.com menelusuri kejadian tersebut dengan mendatangi Pondok Pesantren Al Mujtahadah di Jalan Handayani, Gang Ros, Kelurahan Perhentian Marpoyan, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau, Rabu (4/3/2020).

Dalam berita tersebut mereka dikeluarkan karena sering melanggar peraturan pondok. Tak hanya itu wali siswa itu datang membawa pengacara dan media. Padahal anak tersebut sering melanggar aturan berupa, merokok, kabur lompat pagar lalu main warnet. Dikeluarkan orang tua protes, diberi sanksi siswa melawan. Bagaimana lagi seharusnya?

Seperti yang terjadi pada salah satu SMA di Kupang, hanya karena absen ujian yang tak ditandatangani memantik pertengkaran, dan berujung pada guru yang menjadi korban.

"Saat itu sebagai guru pengawas ujian, kemudian korban melaksanakan pemeriksaan dan pengecekan daftar hadir. Ternyata ada satu yang belum ngisi," kata Kapolres Kupang AKBP Aldinan RJH Manurung saat dihubungi detikcom, Rabu (4/3/2020). (Detik.com, 5/3/2020)

Saat itu guru bertanya pada peserta ujian bahwa absen masih ada yang belum tanda tangan. Namun tak ada jawaban. Namun tiba-tiba ada siswa yang berteriak sambil marah-marah. Merasa tidak dihargai guru tersebut mendatangi dan menempelang siswa itu. Kejadian itu mengundang siswa lain untuk beraksi, akhirnya guru tersebut dikeroyok.

"Ada bekas luka, setelah itu kita laksanakan pemeriksaan, kita lakukan visum, ternyata lukanya luka berat, di kepala bagian belakang, punggung, tangan dan bahu," kata Kapolres Kupang Aldinan. (Detik.com, 5/3/2020)

Dari kejadian di atas, dua buah tindakan yang berlawanan sama sekali. Kejadian pertama adalah dengan memberikan sanksi berupa point pelanggaran tata tertib tanpa sanksi. Ketika siswa telah mencukupi syarat untuk dikeluarkan sesuai tata tertib yang ada. Ternyata orang tuanya protes.

Kejadian ke dua, sanksi diberikan dengan kekerasan, juga berujung kekerasan. Hingga akhirnya kasusnya sampai ditangan kepolisian.

Menyikapi hal tersebut pihak sekolah seharusnya bagaimana?

Tata tertib sekolah dilaksanakan mengikuti aturan yang ada, pihak sekolah dipersalahkan. Ketika sanksi kekerasan diberlalukan bahkan mendapat perlawanan dari siswanya. Jika tak melawan, maka guru dianggap telah melanggar dengan melakukan kekerasan.

Sebuah dilema yang entah hingga kapan berakhirnya.

Padahal ketika proses pendaftaran siswa baru, jelas-jelas ada surat pernyataan yang ditandatangani oleh siswa dan orang tua terkait tata tertib yang harus dilaksanakan dan sanksi-sanksi yang diberlakukan.

Mungkin saja pada ke dua kasus di atas, pihak pondok dan sekolah belum melaksanakan ini. Mungkin juga sudah, namun belum berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Ketika siswa dan orang tua membaca tata tertib yang ada sesuai dengan poin-poin penghargaan dan hukuman yang tertera pada tata tertib, mereka dengan jelas dapat mengetahui. Apa saja perilaku yang nantinya akan mendapat penghargaan berupa penambahan poin plus. Demikian juga ketika melakukan pelanggaran maka akan mendapat point minus.

Dalam batas tertentu, siswa akan dipanggil dan diberi peringatan tentang jumlah poin minus yang telah didapatkan. Jika masih bertambah pelanggaran yang dilakukan akan menambah poin minus.

Hingga sanksi berikutnya berupa pemanggilan orang tua, guna menyampaikan bahwa siswa telah melakukan pelanggaran dan jika tetap melakukan pelanggaran makan poin minusnya akan bertambah. Sampai pada tindakan skorsing, hingga tindakan pengembalian siswa kepada orang tuanya.

Barangkali proses ini tidak terlaksana di pondok itu, hingga akhirnya orang tua kaget ketika sekonyong-konyong anaknya dikeluarkan dari pondok.

Demikian juga mungkin yang terjadi pada SMA di Kupang tersebut, tata tertib yang menjadi acuan berlangsungnya sebuah sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya.

Tata tertib sekolah menjadi acuan proses pemberlakuan penghargaan dan hukuman atas perilaku siswa di sekolah

Akhirnya kekerasan oleh guru kepada siswa berlanjut. Ada yang melawan dan ada yang menjadi korban. Jelas kita mesti sesalkan. Dan berharap tidak ada lagi kekerasan yang terjadi di sekolah. Baik oleh guru kepada siswa. Oleh siswa kepada guru. Atau siswa kepada siswa.

Kuncinya adalah tata tertib yang ada di sekolah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku dengan meminta siswa, orang tua membaca dan mencermati dengan seksama tata tertib yang ada. Kemudian semuanya tanda tangan diatas materai sebagai bukti hukum yang kuat antara pihak sekolah dan orang tua siswa.

Semoga kekerasan dalam bentuk apa pun tak terjadi di sekolah mana pun di negeri ini. Aamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun