Tata tertib sekolah dilaksanakan mengikuti aturan yang ada, pihak sekolah dipersalahkan. Ketika sanksi kekerasan diberlalukan bahkan mendapat perlawanan dari siswanya. Jika tak melawan, maka guru dianggap telah melanggar dengan melakukan kekerasan.
Sebuah dilema yang entah hingga kapan berakhirnya.
Padahal ketika proses pendaftaran siswa baru, jelas-jelas ada surat pernyataan yang ditandatangani oleh siswa dan orang tua terkait tata tertib yang harus dilaksanakan dan sanksi-sanksi yang diberlakukan.
Mungkin saja pada ke dua kasus di atas, pihak pondok dan sekolah belum melaksanakan ini. Mungkin juga sudah, namun belum berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Ketika siswa dan orang tua membaca tata tertib yang ada sesuai dengan poin-poin penghargaan dan hukuman yang tertera pada tata tertib, mereka dengan jelas dapat mengetahui. Apa saja perilaku yang nantinya akan mendapat penghargaan berupa penambahan poin plus. Demikian juga ketika melakukan pelanggaran maka akan mendapat point minus.
Dalam batas tertentu, siswa akan dipanggil dan diberi peringatan tentang jumlah poin minus yang telah didapatkan. Jika masih bertambah pelanggaran yang dilakukan akan menambah poin minus.
Hingga sanksi berikutnya berupa pemanggilan orang tua, guna menyampaikan bahwa siswa telah melakukan pelanggaran dan jika tetap melakukan pelanggaran makan poin minusnya akan bertambah. Sampai pada tindakan skorsing, hingga tindakan pengembalian siswa kepada orang tuanya.
Barangkali proses ini tidak terlaksana di pondok itu, hingga akhirnya orang tua kaget ketika sekonyong-konyong anaknya dikeluarkan dari pondok.
Demikian juga mungkin yang terjadi pada SMA di Kupang tersebut, tata tertib yang menjadi acuan berlangsungnya sebuah sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!