Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membumikan Perilaku Terpuji pada Anak, Seperti Apa?

29 Februari 2020   15:15 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:58 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Suatu ketika saya kaget ketika ditanya ponakan saya. "Paman, berpelukan dan bermesraan begitu bolehkah? Padahal dia bukan suami istri?" katanya.

Maklum anak usia 12 tahun. Pelajaran yang diterima di sekolah adalah haram hukumnya bersentuhan dengan orang yang bukan muhrim. Bertolak belakang dengan apa yang dia lihat.

Saya jawab aja, "Itu kan sinetron, tak betulan. Hanya pura-pura."

"Memangnya kalau pura-pura boleh ya?" tanya dia lagi.

"Harusnya tidak boleh. Tetap saja tak boleh bermesraan dan berpelukan denga yang bukan muhrim."

"Kalau tidak boleh mengapa jadi tontonan?"

Kemudian televisi yang menayangkan sinetron itu saya matikan.

"Kok dimatikan, Paman."

"Daripada nanti kamu melihat, terus mencontoh. Lebih baik dimatikan saja. Gak usah nonton yang begitu-begitu."

Sebuah jawaban frustasi ketika kondisi nyata tidak sama dengan yang diajarkan di sekolah.

Pemberian contoh perilaku lewat pembelajaran di sekolah akan sulit, ketika berhadapan dengan kondisi nyata yang jauh berbeda.

Ketika kita mengajarkan tentang perlunya menghargai orang lain. Di depan mata, mereka melihat bagaimana saling debat, saling protes, saling caci maki yang terlihat di layar televisi, di laman media sosial dan laman online. Sementara mata mereka melihat kejadian itu nyata terjadi.

Ketika peserta didik berada dalam kelas, ketika mendengarkan cerita guru tentang idelanya sebuah hubungan kemasyarakatan. Bagaimana pun baik dan mulainya sebuah perilaku dicontohkan. Yang diterima peserta didik dianggap hanya dongeng masa lalu. Sejarah masa silam dan tak ada lagi di zaman sekarang.

Dilema yang dihadapi peserta didik menentukan keumuman perilaku dan pelajaran di sekolah terasa sangat berbeda. Menjadi orang baik seakan tersisih. Menjadi yang paling empati malah dianggap membuang-buang waktu karena terlalu banyak memberikan perhatian kepada kesusahan orang lain.

Menjadi tenggang rasa menjadi dianggap terlalu lembek dan suka mengalah. Akhirnya malah jadi korban yang tertindas.

Sebagai guru dan juga masyarakat biasa, akhirnya mau tidak mau harus bekerja ekstra keras memberikan pengertian tentang kondisi yang ada sekarang dan pembelajaran perilaku di dalam kelas.

Sepertinya peran orangtua menjadi sangat signifikan mengarahkan anaknya untuk menjadi lebih baik dalam perilaku. Dengan contoh dari lingkungan keluarga akan lebih meresap diterima anak.

Sementara ketika di sekolah menyelipkan tata perilaku pada setiap pembelajaran juga teramat penting. Perlu kerja keras dan berkesinambungan. Dengan contoh teladanlah semuanya akan ditularkan.

Oleh karenanya, kerjasama orangtua peserta didik dan guru perlu dipererat lagi ke arah perubahan tingkah laku peserta didik. Menentukan mana yang menjadi batasan kesopanan dan batasan lain yang berlaku di masyarakat sesuai dengan budaya setempat. Membentengi mereka dari arus globalisasi adalah tugas bersama.

Dengan harapan, generasi penerus kita tak terjerumus pada pergaulan yang tidak diinginkan. Dan menjadi dewasa sesuai dengan harapan agama, bangsa, dan orangtua. Aamin.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun