Buntut dari tragedi kegiatan pramuka susur sungai pada SMPN 1 Turi, sungguh mengiris hati. Guru, mereka yang telah meluangkan waktu memberikan pembinaan pada ekskul pramuka di sekolah lagi nahas telah melakukan kesalahan. Keteledoran yang mengakibatkan tewasnya 10 orang peserta didik pada kegiatan itu.
Tiga tersangka merupakan pembina Pramuka yakni Isfan Yoppy Andrian (36), Riyanto (58), Danang Dewo Subroto (58). Yoppy merupakan guru Olahraga dan Riyanto adalah guru Seni Budaya di sekolah tersebut. Keduanya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Mengutip di tirto.id dijelaskan Polres Sleman memublikasikan tiga tersangka yang dinilai lalai saat kejadian tewasnya 10 pelajar SMPN 1 Turi, Sleman Yogyakarta pada kegiatan Pramuka: susur Sungai Sempor pada Jumat (21/2/2020).
Bagaimana mungkin sampai ternyata digunduli seperti layaknya penjahat perampokan, perkosaan, atau begal bersenjata.
Ketika musibah yang terjadi tak mungkin disengaja. Kita hanya membayangkan ketika naik kendaraan, kemudian ada kucing paling tidak melakukan pengereman atau menghindari. Bahkan mahluk sekecil kucing saja tak ingin kita membunuhnya. Apalagi manusia sengaja dikorbankan untuk ditewaskan.
Ketika mereka disangka bersalah karena teledor masih mungkin, karena masih didalami pihak kepolisian. Sementara perlakuan menggunduli mereka dan difoto serta tersebar di laman media sosial dan berita online sungguh mengusik nurani para guru.
Saya hanya membayangkan, bagaimana jika suatu ketika tak sengaja dalam kegiatan OSN atau O2SN membawa peserta didik berangkat dari sekolah ke lomba tingkat kabupaten dan terjadi musibah kecelakan. Apakah akan diperlakukan seperti mereka? Digunduli dan disebarkan serta menjadi berita viral. Lebih baik tak usah berangkat membawa peserta didik saja kalau begitu.
Dan efeknya tak akan ada guru yang berani meluangkan waktu dan jerih payahnya lagi ke luar lingkungan sekolah membawa mereka dalam kegiatan yang melibatkan peserta didik di luar kingkungan sekolah. Toh, ketika berangkat dan pulangnya tak ada transpot yang memadai. Jerih payah juga mungkin tak dihargai dalam bentuk materi.
Seperti mereka yang sekarang terkena musibah tersebut. Saya yakin acara itu, terlepas dari kesalahan para guru pembimbing ini. Tak ada niatan sedikit pun untuk mencelakai peserta didik. Juga tak mendapat honor dan transpot dari kegiatan itu. Jadi mereka murni melakukan itu demi meningkatkan kreatifitas peserta didik, mencintai alam.
Lalu mengapa mereka seperti penjahat kelas kakap yang telah berkali-kali melakukan kejahatan sehingga layak untuk dipermalukan. Mereka juga sepertinya tak akan melakukan tindakan kejahatan membuang barang bukti atau berbohong ketika masa penyelidikan. Sepertinya tak mempersulit pemeriksaan, karena jelas-jelas musibah terjadi karena kecelakaan.
Sekarang bandingkan dengan pelaku koruptor, atas perbuatannya berapa banyak masyarakat dirugikan. Kejahatan yang disebut sebagai kejahatan luar biasa saja tak sampai digunduli begitu. Kalau perbandingkan yang seperti ini belum cukup menggugah, lalu perbandingan macam apa lagi yang harus dibandingkan.
Bukan tentang rambut yang melekat di kepala. Gundul bagi para guru atau siapa saja adalah hal biasa. Tak ada yang istimewa atau terhina. Kalau digunduli, catat "digunduli" bagaimana seorang guru digunduli. Bagi saya sesama seorang guru pasti merupakan bentuk penghinaan besar terhadap profesi guru.
Oleh karena itu, para guru harusnya juga merasa terhina rekan seprofesinya mendapat pelecehan dari aparat kepolisan. Semoga para guru membaca tulisan ini dan melakukan tekanan terhadap pihak kepolisian untuk memohon maaf atas kesalahannya telah semena-mena dalam proses pemeriksaan rekan guru yang tertimpa musibah tersebut.
Sekian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI