Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Guru PNS yang Semakin Jauh dari Angan

24 Februari 2020   09:16 Diperbarui: 24 Februari 2020   11:07 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tak salah jika ada yang mengatakan hidup adalah perjuangan. Sejak di rahim ibu, dari berjuta sperma hanya satu yang menang dalam perjuangan menembus sel telur. Sembilan bulan sembilan hari pada kadarnya. Kemudian berjuang memecah buntalan tembuni untuk mengambil napas pertama kelahiran di dunia.

Setelahnya perjuangan demi perjuangan tak berhenti. Kadang malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Bukan untung dan malangnya yang diperhitungkan, melainkan seberapa perjuangan telah dilakukan. Begitulah kehidupan.

Demikianlah yang dialami sebutlah ibu Novi, cantik namanya tak secantik jalan hidupnya. Nasib baik belum berpihak padanya. Lulusan S1, sarjana pendidikan ini setiap harinya adalah sebagai guru honorer madrasah ibtidaiyah. Teman-teman seangkatan dengannya sudah menikmati indahnya menyandang gelar guru PNS dan sertifikasi yang melekat pada tunjangan bulanannya.

Satu hal yang membuatnya paling bersyukur adalah karena madrasah tempatnya mengajar dekat dengan rumah. Sehingga biaya transportasi yang besar setiap harinya dapat ditekan sedemikian rupa.

Dengan penghasilan Rp 450.000 sebulan mengharuskannya mencari tambahan penghasilan. Baginya, menjadi guru adalah cita-cita almarhum bapaknya. Untuk menambah penghasilan Novi sudah terbiasa bangun pukul 3 pagi. Ditemani ibunya menanak dan menggoreng kue basah hingga pagi tiba. Mereka membuat beraneka kue yang dititipkan di kantin sekolah.

Entah sudah berapa kali Novi ikut seleksi CPNS, katanya hampir tak terhitung lagi jumlahnya. Sekarang dia sudah pasrah. Usia 35 tahun lebih tak memberinya peluang penyandang predikat PSN.

Menjadi guru kelas 4 dengan keahlian program studi matematika membuatnya harus belajar dan belajar lagi. Pembelajaran tematik di MI mengharuskannya menggali konsep dasar pelajaran lain, terutama pelajaran bahasa Indonesia, IPA, dan IPS.

Novi menyadari bahwa kelemahan peserta didik di sekolah dasar (SD/MI) adalah minimnya kemampuan guru dalam penerapan konsep dasar dari pembelajaran tematik. Kaitan antara materi yang satu dengan materi yang lain sangat kompleks, sementara yang tampak dari luar hanyalah sebuah cerita. Hal itulah yang dia coba kembangkan pada kelasnya.

Ketika UASBN masih diterapkan, mau tidak mau Novi harus menjadi tumpuan bagi rekan-rekan guru di sekolahnya. Mengingat mereka adalah S1 PGSD. Pendalaman materi keprofesionalan masing-masing pelaharan masih jauh dari senpurna. Kadang salah konsep dalam mengajarkan materi pelaharan sering ditemuinya.

Walau berstatus honorer dengan gaji tak seberapa tak membuat semangatnya kendor. "Biarlah saya jadi guru honorer selama hidup saya. Dengan gaji sedikit pun tak mengapa, yang penting amal zariah kelak akan saya dapatkan." katanya suatu ketika.

Tragis memang. Di tengah pengetatan penerimaan CPN guru, kuota yang semakin tahun semakin berkurang. Sementara setiap tahun lulus S1 Keguruan makin bertambah. Kemana mereka akan bekerja?

Pembangunan unit sekolah baru di daerah baru sulit ditemukan. Menanti PNS guru yang pansiun dan meninggal pasti tak sebanyak yang lulus dari Fakultas (Institut) keguruan. Lapangan kerja apa yang layak untuk mereka?

Ketika UN masih ada, sedikit peluang terbuka bagi mereka. Membuka bimbingan belajar persiapan UN, Les pelajaran masih bisa dijadikan pekerjaan sampingan. Bagaimana pun lulusan SI pendidikan adalah calon guru. Sangat janggak ketika mereka harus bekerja di perusahaan. Skil yang dimiliki tak akan mendukung di mana tempatnya akan bekerja.

Sungguh dilema yang harus dicarikan jalan keluarnya. Mungkin bagi sebagian orang, cukuplah mendaji sarjana pendidikan supaya mampu mendidik anak nantinya. Kemudian berwiraswasta, berdikari membuka lapangan usaha sendiri.

Kalau demikian halnya, seharusnya ketika di bangku perkuliahan para mahasiswa kependidikan dibekali dengan ilmu kewirausahaan. Mata kuliah tambahan bagi persiapan para lulusan untuk berwirausaha setelah mereka lulus nantinya.

Sehingga dogma yang berkembang selama ini, bahwa S1 Kependidikan tak mesti berdiiri di depan kelas memberikan materi pelajaran.

Terlepas dari masalah Novi dan Novi yang lain, mereka adalah guru yang bernasib malang tak mampu lagi menyandang gelar kebanggaan, Guru PNS. Bagaimana pun, hidup harus berjalan. Kesulitan demi kesulitan harus diatasi dan diperjuangkan. Ada yang berhasil, dan ada yang gagal bertahan. Seperti halnya sel sperma dalam rahim ibu. Pemenangnya adalah kelahiran.

Walaupun demikian, pemerintah tetap harus berpikir keras. Bagaimana nasib lulusan para calon guru ini. Keterbatasan sekolah yang ada dan jumlah lulusan yang tak berimbang. Semoga saja mereka bukanlah para pengangguran yang terselubung dari ketidakadanya lapangan pekerjaan di sekolah.***
(Cerita ini sudah mendapat persetujan yang bersangkutan untuk ditayangkan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun