Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

3 Dosa Pendidikan yang akan Segera Melakukan Pertobatan

21 Februari 2020   10:12 Diperbarui: 21 Februari 2020   10:13 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Hai anak-anak!
Pendidikan karakter?
Religius, integritas, mandiri, nasionalis, gotong royong
....

Bagi guru teriakan di atas sudah bukan jadi barang baru. Ketika masuk kelas, selepas memberi salam dan menanyakan kabar pada peserta didiknya langsung berteriak. Peserta didik pahan harus menjawab apa? Seperti yang tertulis di awal tulisan ini. Berdampakkah pada pergaulan dan kehidupan peserta didik?

Guru yang menanyakan ini harus bertanya dulu ke dalam hatinya masih masing-masing. Sudahkah religius, integritas, mandiri, nasionalis, gotong royong menjadi kebiasaan tingkah laku dan pergaulannya sehari-hari.

Saya rasa tak satu pun guru yang menyatakan tidak. Apa pun alasannya, bahkan ketika diambil sumpah pun tetap akan mengatakan bahwa 5 karakter yang dikembangkan pada pendidikan karakter ini telah dilaksanakan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, nyatanya 5 karakter tersebut hanya jadi hapalan peserta didik.

Kesalahannya ada di mana? Dosa pendidikan seperti disebutkan Ozy Valandika, Kompasianer Melinial yang gigih mengangkat issu pendidikan ini pengutip pernyataan Mendikbud.

"Buat saya ada tiga dosa. Dosa intoleransi, dosa kekerasan seksual, dan dosa bullying," ujar Nadiem di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/02/2020).

Bagaimana menebus dosa pendidikan di Indonesia? Langkah Nadiem Makarim dalam menebus dosa pendidikan di tanah air perlu diapresiasi oleh seluruh steakholder pendidikan di negeri ini. Tangan pertama adalah orang tua, berikut guru dan warga sekolah lainnya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion. (Cnbcindonesia.com, 18/02/2020)

Apa sih yang mampu menebus dosa pendidikan tersebut? Penyebab dari terjadinya dosa pendidikan kita adalah tentang kelulusan peserta didik berdasarkan nilai UN. Bertahun-tahun, peserta didik, orang tua, guru, bahkan pejabat Dinas Pendidikan sampai kepada Kepala Daerah.

Ketika UN dihapuskan, peserta didiklah yang paling merdeka pertama kali. Selama ini perilaku kekerasan seksual, radikalisme, dan perundungan dianggap sebagai bentuk pelarian dari rasa stress peserta didik terhadap banyak dan sulitnya materi pelajaran. Setiap hari yang terpikir bagaimana agar mendapatkan nilai yang tertinggi, mininal nilai di atas KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah.

Meskipun banyak faktor lain yang jadi penyebab terjadinya perilaku kekerasan seksual, radikalisme, dan perundungan di sekolah.

Dimasukkannya Compassion dalam kompetensi dasar yang harus dimiliki peserta didik pada PBM membuka ruang gerak untuk guru dan peserta didik benar-benar masuk dalam suasana pembelajaran yang mengedepankan kerjasama, welas asih, tenggang rasa dan empati pada kesulitan yang dihdapai peserta didik lainnya, baik dalam kelas maupun di luar kelas.

Compaasion tidak hanya sekedar jadi hapalan peserta didik, namun akan dijadikan landasan perilaku di sekolah. Tidak juga hanya sekedar nebeng dalam setiap materi pelajaran. PBM akan benar disusun dan dirancang sedemikian rupa guna mencipkatan kondisi pembelajaran kerjasama, welas asih, tenggang rasa dan empati pada kesulitan teman se kelasnya.

Dengan struktur pembelajaran compassion segala aspek perilaku yang termuat dalam pendidikan karakter pun akhirnya mampu merasuk pada diri peserta didik secara perlahan dengan tidak lagi menjadi hapalan semata.

Oleh karena itu, kita sebagai orang tua, guru dan warga warga sekolah harus turut serta dalam setiap perubahan pembelajaran di lingkungan kita masing-masing. Sehingga Compassion: kerjasama, welas asih, tenggang rasa dan empati pada kesulitan orang lain benar-benar meresap dalam diri kita, juga anak dan peserta didik kita.

Dengan kerjasama, welas asih, tenggang rasa dan empati pada kesulitan orang lain, lambat laun perilaku kekerasan seksual, radikalisme, dan perundungan di sekolah ditekan seminimal mungkin. Semoga perilaku kekerasan seksual, radikalisme, dan perundungan tak lagi terdengar terjadi di sekolah. Aamin.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun