Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Resensi Puisi, "Tauqat, Kehangatan yang Perlahan Lenyap Ditelan Sepi"

10 Februari 2020   22:43 Diperbarui: 10 Februari 2020   23:27 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Maulana mengatakan,"Aku harus pergi ke Tauqat. Daerah itu sungguh hangat."
Apa yang mereka ketahui tentang Tauqat?
Sementara aku masih di sini, berteduh
Dalam naungan di bawah pohon sepi
Akarnya adalah kata-kata itu sendiri
.....

"Selengkapnya tentang puisi Tauqat," bisa dibaca.

Tauqat adalah sebuah kota yang kini tinggal puing-puing sejarah. Berada di Sivas, Turki. Kota cinta.

Seperti halnya Rumi, sang sufi yang kata-katanya adalah mutiara hitam yang mahal harganya. Untuk kalangan tertentu bukunya dijadikan rujukan ke-sufi-an.

Mencari jadi diri. Menguatkan keimanan kepada Tuhan (Allah, SWT) dalam bentuk cinta yang dalam terhadap segala ciptaannya.

Puisi Tauqat sendiri, merupakan bentuk perlawanan segelintir orang yang ingin melakukan pembantahan ke-sufi-an Rumi. Terlepas benar atau salahnya. Kita memang tidak sedang berbicara tentang baik buruknya sebuah keyakinan.

Menurut Ayah Tuah, Kompasianer Fiksiana kawakan dalam sebuah grup WA, menanggapi bahwa, Puisi Tauqat itu kalau asli ( bukan saduran ). Harus dua jempol untuk diacungkan.

Biru atau peang itu pilihan orang lain. Di sebelah sana orang bisa menilainya berbeda
Bukan saduran ayah. Hanya mengambil nama tuqatnya saja dari buku itu. Isinya melenceng jauh dari naskah aslinya. Kata ayah harus jujur.

Sebenarnya ide penulisan puisi Tauqad merupakan bentuk kegelisahan pada sebuah karya sastra keagamaan yang perlahan ditinggalkan oleh pembacanya. Para pembaca karya sastra lebih senang dan enjoi jika karya Rumi tampil dalam bentuk ebook.

Tapi apa mau dikata, beda zaman, beda keinginan.  Meskipun begitu, buku karya Rumi masih laris manis dikonsumsi.

Dalam puisi Tauqat, saya mencoba menampilkan sebuah realita tentang apa yang hari ini terjadi. Saya coba tampilkan perasaan yang berbanding terbalik. "Malah kebalikannya. Takut dianggap terlalu jadi ulama. Kan malu." Kata-kata ungkapan rasa sungkan kepada rekan yang telah memperbincangkan puisi Tauqat tersebut.

Lebih lanjut Ayah tuah menyampaikan, "Bagus ini. Puisi ini seolah-olah Pakdhe tahu soal Tauqat itu. Apalagi ada keterangan di bawahnya terinspirasi dari bla bla bla... Judulnya aja keren."

Hanya sekedar membuat perbandingan, "Naskah aslinya, maknanya seprtinya malah, kalau kau yakin akan Tuhan. Kau tak akan pernah merasa kesepian. Tak akan pernah menghitung berapa usaha yg telah kau kerjakan. Semua sdh masuk perhitungan."

Bagimana pun kentalnya sebuah karya tergantung dari, dimana karya itu dilahirkan. "Kalau nggak gini, Tauqat itu diganti dengan Tanah Bumbu. Keren, kayaknya. Cuma adminnya kayaknya matanya agak gatal kalau baca Tanah Bumbu."

Saya hanya tertawa dan menikmati komentar yang memberi nilai atas sejelek apa pun komentar. Tetap saja semua kritik dan saran adalah masukan bagi sebuah karya sastra.

Jadi dengan penuh kesadaran saya sebagai penulis puisi abal-abal pasti sangat senang ketika puisi karya saya diperbincangkan. Semoga karya-karya lain akan lebih baik lagi. Hanya itu harapan lahirnya sebuah karya puisi. Termasuk puisi Tauqat ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun