Dalam puisi Tauqat, saya mencoba menampilkan sebuah realita tentang apa yang hari ini terjadi. Saya coba tampilkan perasaan yang berbanding terbalik. "Malah kebalikannya. Takut dianggap terlalu jadi ulama. Kan malu." Kata-kata ungkapan rasa sungkan kepada rekan yang telah memperbincangkan puisi Tauqat tersebut.
Lebih lanjut Ayah tuah menyampaikan, "Bagus ini. Puisi ini seolah-olah Pakdhe tahu soal Tauqat itu. Apalagi ada keterangan di bawahnya terinspirasi dari bla bla bla... Judulnya aja keren."
Hanya sekedar membuat perbandingan, "Naskah aslinya, maknanya seprtinya malah, kalau kau yakin akan Tuhan. Kau tak akan pernah merasa kesepian. Tak akan pernah menghitung berapa usaha yg telah kau kerjakan. Semua sdh masuk perhitungan."
Bagimana pun kentalnya sebuah karya tergantung dari, dimana karya itu dilahirkan. "Kalau nggak gini, Tauqat itu diganti dengan Tanah Bumbu. Keren, kayaknya. Cuma adminnya kayaknya matanya agak gatal kalau baca Tanah Bumbu."
Saya hanya tertawa dan menikmati komentar yang memberi nilai atas sejelek apa pun komentar. Tetap saja semua kritik dan saran adalah masukan bagi sebuah karya sastra.
Jadi dengan penuh kesadaran saya sebagai penulis puisi abal-abal pasti sangat senang ketika puisi karya saya diperbincangkan. Semoga karya-karya lain akan lebih baik lagi. Hanya itu harapan lahirnya sebuah karya puisi. Termasuk puisi Tauqat ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H