Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Sejak Dini, Prof. Apollo Daito kah Orangnya?

5 Februari 2020   20:37 Diperbarui: 5 Februari 2020   22:52 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Plan De Masse Gratuit En Ligne markomilacic.me

Berkarya yang tak ada habisnya. Siapa dia? Prof. Apollo Daito. Kalau orang lain sudah takjub ketika ada yang menulis artikel seperti minum obat. Dua atau tiga kali sehari. Sementara manusia unik ini menulis seperti menarik napas.

Seakan setiap tarikan napas adalah satu pargraf. Jadi tak mengherankan ketika setiap jam hingga 24 jam ada 24 artikel filsafat baru atas nama Prof. Apollo Daito.

Dahulu saya pernah mengikuti pelatihan instruktur yang pematerinya masih mengikuti program doktoral. Saking takjubnya saya akan kecerdasannya tak sengaja terlontar sebuah kalimat, "Wah Bapak, harusnya sudah Professor nih." ketika waktunya istirahat.

Bapak tersebut kemudian cerita, ternyata untuk mendapatkan gelar professor itu tidak mudah. Selain memang kecerdasan yang yang dibutuhkan, juga biaya yang sangat besar. Saya baru sadar, ternyata memang susah untuk menyandang gelar professor. Banyak yang dikorbankan dan diperjuangkan.

Sementara kita berada di Kompasiana dengan gratis setiap jam mendapat kuliah filsafat gratis dari sang professor. Itulah yang membuat saya betah berlama-lama di Kompasiana. Membaca artikel K'ner yang keren-keren dan bermanfaat.

Dengan cerita peroses pendidikan dari TK hingga S3 tersebut anak saya pernah bertanya, "Bah -- panggilan untuk Bapak -- makalah itu apa sih?" Anak saya kelas 11 SMA. Jadi sudah bisa diajak jadi teman berpikir.

Namanya saya, orang tua. Malu kalau tidak tahu. Kadi bapak mau tidak mau harus tahu apa pun yang ditanyakan anaknya. Jadi jika berani menyandang predikat bapak harus siap tahu segalanya untuk anak kita.

1. Anak TK
Sejak awal proses pembelajaran, anak TK diminta untuk bercerita secara lisan tentang apa yang dilihatnya.

Cerita tentang temannya yang menangis karena pipis di celana. Belajar melaporkan apa yang dilihat lewat cerita lisan.

Setelah liburan hari minggu misalnya, ketika hari senin anak TK diminta menceritakan apa yang dikerjakan ketika libur. Tak perlu kalimat lengkap. Yang penting apa yang dilihat, dilakukan mampu dan berani menceritakan.

Inilah awal dari proses literasi sesungguhnya. Sementara ini jarang mendapat perhatian guru Paud dan Tk. Jika sejak kecil anak dibiasakan untuk bercerita maka struktur nalarnya akan berkembang.

Di samping itu motivasi mengingatnya akan terpacu. Bagaimana tidak? Ketika dibiasakan untuk bercerita, anak akan mencoba menyimpan apa yang dikerjakan, apa yang dilihat ketika liburan.

Apalagi jika setelah anak mampu bercerita kepadanya diberikan reward yang membuatnya senang. Sebuah pujian atau tepuk tangan saja sudah mampu menjadikan semangatnya terus menggelora.

Yang terjadi kadang ketika anak TK sering melaporkan sebuah kejadian atau peristiwa yang dilihatnya malah disuruh diam. Akhirnya memorinya mengingat bahwa peristiwa yang diingatnya dan laporannya adalah kesalahan.

Dari kejadian di atas, lambat laun akan menjadikan anak TK cuek bebek pada sekitarnya. Menjadi pendiam adalah lebih baik, begitu kata hatinya. Maka membeolah akhirnya. Dan pada saat ada kegiatan bercerita, anak diminta bercerita mereka diam seribu basa.

2. Anak SD
Untuk anak SD barangkali dapat kita kategorikan menjadi dua. Yaitu kelas rendah (1-3) dan kelas tinggi (4-6).

Untuk kelas rendah mungkin masih tepat jika anak sesering mungkin diminta untuk menceritakan apa yang dilihat dan dikerjakannya. Walau berbeda dengan anak TK, tetap saja materi cerita berkaitan dengan apa yang dilihat dan dikerjakan namun dengan cerita yang lebih panjang.

Mereka diminta bercerita di depan kelas dan didengar oleh taman-temannya. Jika belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, bahasa ibu pun tak mengapa. Yang penting bercerita.

Bagaimana pun tetap saja diyakini, dengan sering bercerita nalar berpikir akan semakin meningkat dari pola berpikir yang kurang teliti menjadi semakin teliti.

Sementara untuk kelas tinggi, tingkat kesukarannya mulai meningkat. Jika kebiasaan bercerita sudah mendarah daging dibiasakan di kelas sebelumnya, maka ketika diminta bercerita pasti anak kelas tinggi tidak canggung lagi.

Nah, kalau yang diceritakan adalah tentang apa yang dilihat dan dikerjakan peningkatannya dimana?

Maka dari itu, untuk kelas tinggi maka mereka diminta untuk menceritakan apa yang telah dibaca, apa yang telah ditonton dengan bahasa Indonesia.

Dengan demikian tingkat kesukaran meningkat dan anak tidak merasa terbebani. Mereka meliterasi diri secara tidak disadari. Dan inilah cikal bakal pertanyaan anak saya tadi.

Tuh kan, pertanyaan anak saya tadi, "makalah itu apa?" mengapa saya ngelantur menjawabnya berupa cerita tentang anak TK. Nyambung nggak ya kira-kira. Baiklah kita lanjutkan ceritanya.

3. Anak SMP
Setelah anak SD tamat maka akan lanjut ke SMP. Apakah proses bercerita selesai? Ternyata tidak.

Ketika kelas tinggi di SD telah terbiasa bercerita dalam bahasa indonesia, maka ketika SMP anak diminta menceritakan apa yang didengar, apa yang dilihat dan dibaca dalam bentuk tertulis.

Bentuk tulisannya seperti apa? Apakah dalam bentuk makalah? Tidak juga. Pokoknya anak SMP menceritakan apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dibaca, atau dikerjakan dalam bentuk narasi bebas.

Pada saat mereka telah terbiasa dan terampil bercerita dalam bentuk tulisan, mulailah kerangka penulisan diajarkan pada mereka. Dimulai dari apa sebabnya peristiwa itu terjadi? Kejadiannya seperti apa? Siapa saja yang jadi pelaku? Apa akibatnya? Dan seterusnya.

Dengan naiknya kelas mereka maka tingkat kesulitannya bertambah secara signifikan. Dan ketika sudah siap, barulah sebuah cerita tertulis mereka disebut dengan sebuah laporan. Laporan kegiatan, namanya.

Bagaimana? Sudah jadi makalahnya? Ha ha ha, ternyata belum. Namun persiapan untuk membiasakan mereka membuat laporan tertulis sudah menjadi kebiasaan dan karena telah terbiasa maka tak akan menemui kesulitan yang berarti.

4. Anak SMA
Ketika anak telah memasuki jenjang SMA, dengan bekal terampil membuat laporan maka sedikit lagi pengetahuan diberikan akan menjadikannya mampu membuat proposal kegiatan.

Dengan diajari bagaimana jika ingin melalukan kegiatan, apa saja yang perlu dipersiapkan, apa yang akan dilakukan? Tujuan kegiatannya apa? Manfaat kegiatannya apa? Tempat dan waktunya kapan? Biaya yang diperlukan berapa? Maka jadilah sebuah proposal kegiatan.

Kegiatan di atas dapat dilakukan dengan cara berkelompok. Dan setelah proses persiapan selesai maka anak SMA diminta melakukan apa yang telah direncakan, kemudian membuat laporan.

Bagaimana jika anak SMA di negeri kita melakukan ini? Dengan merdeka belajar mungkin apa yang saya pikirkan ini dapat terlaksana. Kreatifitas akan terbangun secara matang dan berhasil guna. Mereka akan terbiasa bekerja dengan sebuah rencana. Bertanggung jawab membuat laporan kegiatan.

Dengan demikian akan terpatri pada jiwa mereka bahwa setiap apa yang dilakukan ada tanggung jawab atau konsekuensi dari apa yang telah dilakukan. Sehingga secara tidak sadar terpatri rasa tanggung jaeab yang besar pada jiwa mereka.

Apakah poin 1 - 4 tersebut disebut proses literasi? Soal sebutan apalah arti sebuah istilah. Yang jelas dimulai dari bercerita sederhana hingga menjusun rencana untuk melakukan sebuah pekerjaan telah dilatihkan ketika mereka berada di sekolah.

Kebiasaan seperti inilah yang nantinya akan kita sebut sebagai proses berpikir kritis yang pada jenjang kuliah diperdalam dengan menambahkan landasan teori yang mendukung apa yang ingin disampaikan.

5. Anak Kuliah (S1)
Mohon maaf, istilah untuk mahasiswa tetap saya gunakan istilah anak. Walau mereka bukan lagi anak-anak. Kalau saya bapaknya, walau sudah Professor pun akan tetap saya sebut anak. Jadi lupakan saja istilah "anak kuliah" anggap sama dengan mahasiswa saja.

Ketika kuliah mahasiswa diminta untuk membuat makalah. Apa sih makalah itu?

Dari Wikipedia saya kutip, Makalah adalah sebuah karya yang ditulis dan memiliki sifat ilmiah dan di dalamnya berisi pembahasan mengenai suatu topik tertentu. Makalah dibuat dengan aturan-aturan tertentu yang dilandasi suatu teori atau penelitian yang telah dilakukan di lapangan.

Bagaimana korelasinya dengan anak SMA tadi. Ternyata hanya sedikit perbedaan. Bedanya di mana?

Pembahasan bersifallt ilmiah, disertai dengan landasan teori pendukung atas sebuah topik yang akan dibuat makalah.

Di TK, SD, SMP makalahnya adalah bercerita dengan lisan dan tulisan sederhana. Hanya melalui pengamatan dan kejadian.

Untuk anak kuliahan S1 ketika ingin lulus mereka diminta membuat sebuah skripsi, Skripsi adalah istilah yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan suatu karya tulis ilmiah berupa paparan tulisan hasil penelitian sarjana S1 yang membahas suatu permasalahan/fenomena dalam bidang ilmu tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku. (Wikipedia)

Ketika S2 diminta membuat Disertasi sebagai sarat lulusnya. Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah; untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. Tesis juga dapat berarti sebuah karya tulis ilmiah resmi akhir seorang mahasiswa. (Wikipedia)

Ketika S2 diminta membuat Disertasi sebagai sarat lulusnya. Disertasi adalah paparan diskusi yang menyertai sebuah pendapat atau argumen. Pendapat atau argumen itu sendiri disebut sebagai tesis. Umumnya, istilah disertasi dan tesis dipakai untuk mengacu pemaparan diskusi yang bersifat skolar atau akademis. (Wikipedia)

Apa kaitannya dengan bahasan kita?
Yang ingin saya sampaikan adalah wajar saja Prof. Apollo Daito menulis seperti bernapas. Setiap hembusan napasnya adalah cerita dengan didukung teori yang tak ada habis-habisnya. Bandingkan dengan saya, hanya lulusan S1.

Jadi salam hormat dan takjub saja saya sampaikan disertai dengan doa semoga beliau sehat-sehat saja agar setiap jam mampu memberikan kuliah filsafat kepada kita semua.

Terakhir, ucapan terima kasih yang tak terkira kepada Kompasiana yang telah mempasilitasi K'ner untuk menjadi agen literasi Indonesia. Semoga Kompasiana tetap jaya. Kompasiana yang jadi wadah talenta lirerasi sejuta umat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun