Suami Menik hanya dapat meneteskan air mata menyaksikan adik iparnya mengerang. Tangan Guruh  terperangkap pada dinding matriks dan angka-angka binary mengalir ke luar, mencari tempatnya pada tiap ruang kosong di sana.
01101000
01100101
01101101
01101111
01101110
"Apa yang terjadi? Kemana perginya Henokh? Ia tadi ada bersama kita di sini. Metusalah! Metusalah! Apa yang terjadi dengan Bapakmu? Mengapa ia menghilang seperti cahaya?"
Kehebohan terjadi di tengah tengah kampung. Seorang laki-laki berusia 365 tahun tiba tiba raib dari antara kerabatnya. Anak laki-lakinya hanya bisa berdiri mematung menghadapi pertanyaan yang datang dari semua orang di sekirarnya.
Di belakang orang-orang kampung itu, dua bocah berseragam sekolah dasar saling berkejaran mengendarai sepeda.
"Guruh! Guruh! Tunggu! Kita sudah jauh! Guruh, Pak Guru tidak lagi mengejar kita!"
Bocah yang berada di belakang terus berteriak memanggil sahabatnya yang semakin keras mengayuh sambil tertawa.
Dari arah berlawanan dua ekor dinosaurus berlari kencang. Singa jantan tua mengejar dua binatang naas yang terpisah dari rombongannya.
Blip!
Para prajurit goa bangkit berdiri. Antara sadar dan tidak.
Blip!
Pintu gerbang raksasa di tengah kota terbuka. Jutaan robot yang berdiri sambil memanggul senjata di pundaknya mulai menggerakan mata.
Blip!
01101000
01101111
"Arrrrgggggggghhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!"
01100101
01101110
Samudera gelap tak bertepi mengombang ambingkan sebuah bahtera yang bertahan di antara hujan dan petir. Entah berapa lama bahtera itu ada di sana.
Tetapi seorang anak berseragam biru putih menatapnya dari jauh. Hujan yang turun satu jam lalu telah menahannya di pos ronda kampung. Tidak ada yang dipikirkannya selain ibu dan bapaknya yang gelisah menunggunya di rumah.
"Guruh! Guruh!"
Seorang laki-laki datang menghampiri mengendarai sepeda motor.
"Maaf ya, Le. Bapak tadi terlambat menjemputmu. Mari Le. Ini jas hujannya. Kita sudah ditunggu Ibu di rumah.
Anak berseragam biru putih mengenakan jaket hujan pemberian ayahnya dan naik ke atas motor. Dipeluknya ayahnya erat erat sambil sesekali menelan air hujan yang menerpa wajahnya.
Hujan air kini berubah menjadi material serupa belerang. Jatuh ke bumi dan menimbulkan bunyi ledakan dahsyat. Â
Dari puncak ketinggian seorang laki laki tua hanya bisa memandang dan berharap. Memandang hancurnya kota kota masyhur nan makmur terbakar dalam amukan api dan sengat bau asam. Berharap kerabatnya selamat dari bencana yang tak terkatakan.
"We accelerating this equality through the power of business leadership. We promote standards gap analysis tool, the partnership and tackling the discrimination"
Seorang laki-laki separuh baya berbicara di antara dua panelis lain dalam forum diskusi yang dipenuhi oleh sorak dan tepuk tangan. Para hadirin berdiri memberi hormat sambil melampaikan bendera pelangi di tangannya.
Blip!
"Dimana Jenderal?"
Tanya salah seorang kepala pasukan seratus sambil menoleh mencari Sang Jenderal.
"Jenderal tidak kembali, komandan! Aku orang terakhir yang melintasi gerbang digital."
Jawab salah seorang prajurit.
Blip!
Selamat datang di duniamu para prajurit kebanggaan! Jamuan besar siap untuk disantap!"
Blip!
Para prajurit goa di kota Boas berlari kembali ke tepian muara. Helikopter tempur berhamburan dari arah kota Yakin. Siap membalas serangan orang-orang goa.
Di dalam kendaraan waktu, prajurit penyerta merapatkan badannya ke jok depan seraya mencengkram bahu Guruh.
"Tetap bertahan, Mas. Jangan menyerah!"
Raungan Guruh semakin menjadi. Andai ia bisa menarik tangannya. Tangan itu terperangkap pada dinding martrix.
01110100
01101111
01100101
01110011
Tanpa memperdulikan Guruh yang mengerang kesakitan, orang-orang di tepian jalan terus memukul rebana menemani suara tiupan seruling. Sementara seorang laki-laki menari di depan orang-orang berpakaian putih yang berjalan sambil memikul sebuah peti.
Para penduduk kota berkumpul di tepian jalan menyaksikan pertunjukan itu.
"Kamu tidak mengambil beasiswanya?"
Suara seorang gadis terdengar pelan di telinga laki-laki yang berdiri sambil menyaksikan para peserta karnaval.
"Tidak. Aku tidak memiliki cukup uang untuk bersekolah di luar."
"Itu beasiswa, Guruh. Kamu hanya perlu belajar."
"Kita tidak akan merebus buku dan meminum airnya saat lapar, Ra."
Blip!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H