Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Muara (43)

22 Mei 2022   15:29 Diperbarui: 23 Mei 2022   21:10 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saudara-saudara, silahkan berdiri. 

Marilah. Kamu bersama semua saudara membawa hidup pada kubus ini."

Para laki-laki mengangkat tangan kanan mereka. Bahu, siku dan telapak tangan yang terangkat membentuk sudut 90 derajat. Setengah piramida. Jari-jari tangan menempel rapat satu sama lain. Seperti Hitler menunjukan salamnya kepada pendukungnya.

"Kamu, dan semua saudara laki-lakimu berjanji untuk menjaga perintah dan perjanjian ini di hadapan tuhan, malaikat, para saksi dan bala tentaranya. Sekarang, biarlah setiap kita yang hadir dan mengangkat tangannya mengatakan: Ya."

"Ya!"

Semua pasangan muda yang hadir mengangkat tangan kanan mereka dan menjawab. 

Setelahnya, mereka kembali menurunkan tangan. 

"Kepada kamu akan diberikan token pertama imam agung. Sebagai kunci untuk memasuki pelataran suci. Token ini berisi nama dan tanda. Sama seperti token yang diberikan kepada Adam."

" Token ini juga bersifat rahasia yang dalam keadaan apapun tidak boleh diketahui orang lain. Ia berisi hukum dan perjanjian yang mengikat kita di hadapan tuhan, malaikat dan para saksinya."

"Token pertama  diberikan kepada imam agung melalui jabatan tangan kanan."

Laki-laki yang bersujud di depan altar bersama pasangannya mengulurkan tangan kanan. Jari telunjuk, tengah, manis dan kelingking dirapatkan. Ibu jari dibuka dengan posisi melengkung.

Bentuk telapak tangan kanannya tidak seperti orang yang hendak berjabat, tetapi lebih seperti orang menadahkan tangan. Pemimpin acara menjabat tangannya dengan posisi tangan yang sama.

Apa yang menarik dari cara berjabat tangan ini adalah mereka yang saling berjabatan tidak sepenuhnya menggenggam tangan satu sama lain. Tangan mereka lebih tampak saling dilekatkan daripada saling menjabat. Inilah tanda pemberian token pertama. 

Cindy dan suaminya tidak lagi menjadi pasangan yang maju ke depan altar. Mereka telah melalui prosesi itu. Jika mereka ada dalam acara hari ini, itu semata untuk menguatkan  para anggota baru serta anggota lama yang lupa nama pertama mereka.

Para arsitek dunia dididik, digembleng dan didampingi secara teratur. Segala kebutuhan mereka dipenuhi oleh organisasi. Bukan sekedar cukup. Hidup mereka berkelimpahan. Para pemimpin dunia dan manusia tidak boleh miskin. Kemiskinan bagi mereka sama dengan kutukan.

Upacara selesai siang hari. Cindy dan suaminya segera keluar dari gedung megah yang terlindungi oleh pagar tanaman tinggi. Apa kata orang tentang tempat ini? Gedung? Kuil? Loji? Rumah? Entahlah.

Di kota tempat Cindy dan suaminya menetap, gedung megah seperti ini tidak mungkin tersedia. Gedung yang dilengkapi semua peralatan artificial intelligence. Perangkat audio setara bioskop. Lokasi tersembunyi di antara kemegahan kota. Benar-benar aman untuk melakukan aktivitas dan peribadatan.

Mobil yang dikemudikan suami Cindy kini melaju di tengah kemacetan kota. Bertarung dengan kendaraan lain yang sama-sama mengejar agenda. Beberapa menit kemudian, mobil memasuki lobi pusat perbelanjaan modern, kemudian menuju tempat parkir yang terletak di bawah gedung.

"Cin, kamu nanti duduk bersama ibu-ibu. Biar aku duduk bersama para bapak." Suami Cindy mengingatkan saat pintu lift terbuka di lantai 5.

"Baik, Mas." Cindy menjawab sambil tersenyum.

Keduanya kemudian berjalan ke kanan lift dan bertemu sekumpulan orang yang sudah menunggu di sebuah restoran masakan Asia. Mereka saling bertegur sapa. Bersalaman. Salam pertama penerima token.

Suami Cindy bergabung bersama tiga orang laki-laki. Satu di antara ketiganya seorang ekspatriat. 

Kursi tempat mereka duduk agak menjauh letaknya dari tempat para perempuan di mana Cindy bergabung.

"Aris, perkenalkan ini Mr.Bradman." Laki-laki separuh baya yang duduk di samping suami Cindy menunjuk hormat kepada ekspatriat yang duduk berhadapan dengan suami Cindy.

"Good day, Sir. Nice to meet you." Suami Cindy menyapa penuh hormat.

"Nice to meet you too, Pak Aris." Sapa lelaki dihadapannya penuh hormat.

"Mr.Bradman akan mengumpulkan donasi untuk kampanye kamu nanti. Semua saudara kita di seluruh dunia siap membantu. Jadi masalah uang....kamu tidak perlu khawatir."

"Terima kasih, Om." Suami Cindy tersenyum gembira.

"Asalkan kamu berjanji bahwa kamu akan terus menjalani hidup sebagai seorang arsitek hingga tingkatan terakhir. Masih banyak hal yang harus kamu pelajari."

"Baik, Om. Jangan khawatir. Aku dan keluargaku dapat dijamin kesetiaannya."

"Bagus. Kami senang mendengarnya."

"Memang terkadang istriku khawatir. Kekhawatiran yang normal. Ia sering bertanya, dari mana kami mendapatkan uang untuk kampanye nanti. Terus terang, kami tidak memiliki banyak uang untuk bertarung dalam pemilihan."

"Hahahaha......" ketiga laki-laki lain tertawa mendengar sambatan suami Cindy.

Laki-laki yang disapa Om oleh suami Cindy merapatkan kursinya. Lebih dekat kepada suami Cindy.

"Kamu tidak perlu memikirkan uang. Kenyataannya kamu dan istimu serta semua orang yang datang berkumpul di loji ditanggung sebagai saudara. Dunia ini tempat memproduksi uang paling baik. Ladang paling subur. Apa yang kita perlukan hanyalah memproduksi  ilusi bagi manusia."

"Ilusi,Om?"

"Iya. Pabrik ilusi. Pertama-tama, ciptakan ilusi bahwa manusia ini bebas. Bebas apa saja. Berbicara. Berekspresi. Semuanya. Setelah itu bawa mereka masuk dalam keraguan. Keraguan yang membuat mereka tidak dapat mengenali diri."

"Mungkin karena aku masih di tingkat pertama, penjelasannya aku tidak paham, Om."

"Aris...katakan pada dunia bahwa tiap manusia bebas. Beri kepada manusia demokrasi. Katakan tentang kebebasan informasi. Lalu sediakan kepada mereka internet. Biarkan mereka berselancar. Siapkan juga situs pornografi. Biarkan mereka meneriakkan kebebasan seksual. Biarkan mereka tenggelam dalam dunia bawah. Dunia kejatuhan mereka."

"Pornografi, Om?"

"Aris....lihat hasil karya kita. Pornografi melahirkan kebebasan seksual. Kebebasan seksual melahirkan kebebasan tubuh. Kebebasan tubuh melahirkan kebebasan aborsi. Kebebasan aborsi melahirkan kebebasan gender. Semua bebas Arief. Bukankah manusia merindukannya? Kebebasan yang memberikan kepada kita uang tanpa batas"

"Kebebasan yang bertanggung jawab, Om."

"Manusia diajarkan bahwa kebebasan hanya mungkin diperoleh melalui ketaatan. Tetapi kita melihat faktanya. Ketika kita menyediakan kepada mereka semua perangkat kebebasan, mereka melupa ketaatan."

"Mungkin mereka tidak memiliki penuntun, Om."

"Penuntun mereka ada di hati mereka. Begitu dekat dengan mereka. Tetapi tidak mereka dengar suara penuntun yang halus itu. Mereka mencintai kebebasan dan lebih memilih mendengar messenger ilusi kita Arief."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun