Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Muara (41)

18 Mei 2022   13:31 Diperbarui: 20 Mei 2022   14:16 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikan satu kata untuk melukiskan Bruno Mars. Gagal. Ah, kenapa kamu selalu kehilangan insight? Apa standarnya dia gagal? Sudah lihat video smookin out of the window-nya? Udah. Jadi apa artinya gagal? Dia gagal total. Gagal mengambil tahta Michael Jackson sebagai King of Pop, Rock and Soul.   

"Sudah tiga belas tahun Michael Jackson wafat. Bruno tetap jadi penyanyi semenjana." Guruh mengecilkan suara music dari telepon genggamnya.

"Jadi apa hubungannya dengan Cindy?" Ryan bertanya.

"Cindy? Dia gagal menyelami rasa Danang meskipun setiap hari mendengarkan Just the Way You Are"Guruh menjawab sekenanya.

"Hahahaha.....gelo. Jadi kenapa Bruno Mars harus menerima cercaannya?" Danang tertawa dari atas sadel sepeda motornya.

"Karena ada jutaan gadis cantik yang mendengarkan lagu Bruno setiap hari namun gagal menemukan sang pangeran di dekatnya. Parahnya, mereka pun tidak memilih Bruno sebagai penyanyi terbaik. Alhasil, tiga belas tahun berlalu, Bruno tetap gagal mengambil tahta Michael" Ryan berjalan mendekati Danang sambil membuka kedua tangannya.

"Cukuplah kalian berdua mabuk air putih di kantor. Apakah kopi pagi di Bandungan tidak cukup membuat kalian bangun dari tidur?"Danang tersenyum.

"Justru sebaliknya, Bro. Semakin membuat kami eskstasi." Guruh tertawa.

"Kalian tidak ekstasi. Kalian selalu berhalusinasi." Danang tertawa.

Meskipun kepindahan Cindy sudah berlangsung lebih dari seusbu, rasa kehilangan belumlah terobati dari hati ketiganya. Jika mereka masih sering menggoda Danang, itu berasal dari abu-abu batas dunia.

Di mata Guruh dan Ryan, Danang dan Cindy cukup dekat. Danang boleh dibilang terlibat dalam banyak hal yang berkaitan dengan Cindy. Namun Danang sendiri tidak pernah berterus terang tentang kedekatan mereka.

Di titik yang lain, mereka belum siap ditinggalkan orang yang secara penuh membantu berbagai pekerjaan administrasi, penggajian dan segala ihwal kontrak.

Cindy pegawai terbaik yang pernah ia kenal. Itu yang selalu diucapkan Guruh.

"Kamu sungguh tidak tahu tentang kepindahannya, Nang?"Guruh menyelidik.

"Kalau pun aku tahu, apa yang bisa aku perbuat?"

"Ya, memang gak ada. Tapi setidaknya kamu bisa bercerita ke kitalah."Ryan kecewa.

"Kalau tahu kisahnya, malah kalian lebih kecewa lagi." Danang melihat para laki-laki yang memikul kayu datang dan pergi.

"Memang seperti apa?" Ryan bertanya.

"Cindy menikah karena dijodohkan."

"Hah? Udah abad 21 ini!" Guruh tidak percaya.

"Ya, begitulah. Tidak semua yang kita lihat baik di mata, baik pula kisahnya saat dituturkan."

"Ceritain aja yang jelas. Gak usah pakai misteri gitu."

"Calon suami Cindy itu akan maju dalam pemilihan kepala daerah menggantikan bapaknya."

"Bukan tahun 2024?"

"Iya, dua tahun lagi. Karenanya mereka harus menikah sekarang. Kan lucu calon kepala daerah belum menikah." Tangan Danang menghitung para laki-laki yang berlalu lalang di depannya.

"Maksudnya, kan tidak harus buru-buru. Masih ada waktu." Ryan kembali ke sepeda motornya.

"Ya itu yang aku tidak paham. Cindy hanya bilang ia takut."

"Takut? Orang kawin kok takut? Gembira dong?" Ryan menggoda.

"Keluarga suaminya itu aneh."

"Aneh? Orang aneh gak akan jadi kepala daerah, Nang. Kamu ini ngawur aja."Guruh mengajukan protes.

"Sepuluh tahun calon ayah mertuanya menjabat, enam belas anggota keluarga dan kerabat mereka meninggal." Danang memandang kedua sahabatnya.

"Maksudnya?"Guruh penasaran.

"Keluarga calon mertuanya, menurut Cindy nih ya..... sepertinya mengikatkan diri dengan kuasa kegelapan gitu."

"Maksud kamu keluarga yang meninggal itu tumbal?"

"Seperti itulah."Danang menarik nafas panjang.

"Kalau itu benar, kenapa keluarga Cindy mau menjodohkan dia dengan laki-laki itu?"

"Ya, kalau itu aku gak tahu."

"Atau kita ambil kisah indahnya saja. Yang aneh itu calon mertuanya. Bukan calon suaminya, kan?" Guruh menghibur dirinya sendiri.

"Tidak begitu kisahnya, Ruh. Cindy takut karena calon suaminya terlibat dalam praktek okultisme. Tidak main-main. Ia anggota sebuah organisasi internasional."

"Memang ada organisasi okultisme internasional?" Guruh bertanya serius.

"Kamu ini kadang tidak jelas. Batas antara pintar dan goblokmu tipis." Danang menggelengkan kepalanya.

"Hahahaha....." Tawa Guruh dan Ryan meledak.

"Mestinya aku yang bertanya padamu, Ruh. Karena organisasi ini lebih mirip ibadah kalian daripada kami."

"Hah? Ini apa sih yang kamu maksud?"Guruh serius.

Danang menulis sesuatu di  tanah menggunakan ranting pohon. Dua huruf kapital. Guruh dan Danang mencoba menebak dalam hati apa makna kedua huruf itu.

@@@@@

Para laki-laki desa yang memikul kayu kini berganti membawa semen. Mereka masih berjalan beberapa ratus meter ke tepi lereng dari tempat Guruh, Danang dan Ryan memarkir sepeda motor.

Sudah hampir satu bulan mereka membangun gubuk di tepi lereng yang terletak paling ujung dari desa mereka. Guruh pemilik gubuk itu. Ini gubuk pertama yang dibangunnya.

"Berapa lama orang-orang ini akan bekerja?" tanya Danang.

"Kalau semua berjalan sesuai rencana, sepertinya awal Agustus rampung gubuknya." Guruh bersemangat.

"Kamu menggali ruang bawah tanah ya?" Ryan bertanya.

"Secara teknis tidak menggali. Aku memanfaatkan lobang alam. Ada cekungan yang dibentuk oleh batu. Aku manjadikannya ruang bawah. Memanfaatkan semen untuk merapikan dinding dan lantainya."

"Jadi gubuknya kamu bangun setelah kayu-kayu tadi kamu timbun di atas lobang batu itu?"Danang bertanya.

"Persis. Desainnya seperti itulah."

"Kamu benar-benar mau hidup menjauh dari kota?" Danang meragu.

"Tergantung pandangan kamu. Lokasi ini bukan paling tinggi. Tapi paling ujung dari dusun. Di sebelah sana masih ada dusun-dusun sekeliling Candi Gedong Songo. Jadi kalau menjauh dari kota sih tidak seratus persen benar ya?"

"Tapi ini kan lokasi yang sulit dicapai."Ryan mendukung Danang.

"Benar. Yang penting aku bisa menjauh dari semua kemungkinan covering tower."

"Menarik." Danang mengangguk kagum.

"Kamu pengen ikutan?"Guruh antusias mengajak.

"Aku lihat hasilmu dulu,"Danang tertawa.

"Kamu pakai power apa?", Ryan tertarik.

"Solar panel."

"Panel surya?"

"Iya dong. Di jual dimana-mana, tuh. Toko online juga ada. Kita butuhnya hanya untuk emergensi. Gak ada laptop, hape, televisi, kulkas, dan segalanya."

"Wahhhh......rumah kesunyian ini"Ryan tertawa.

"Hidup berdamai dengan alam, Bro."

"Bangunan gubuknya kamu pakai kayu apa?"

"Aku pesan bangunan kayu kelapa. Knockdown, gitu. Aku beli di toko online juga. Murah. Kalau sudah diantar ke sini, tinggal pasang."

"Jadi yang lama hanya struktur bawahnya ya?"Danang menyela.

"Iya, sih. Kan angkut materialnya juga hanya bisa pakai tenaga manusia begitu."

"Tapi aku kagum deh sama ide, Elo. Rumah jauh dari kampung tapi dekat sama aliran air." Ryan menunjuk aliran air kecil yang mengalir di sepanjang tebing. "Ini air pegunungan ya?"

"Benar. Mengalirnya dari atas sana."Guruh menunjuk ke arah hutan di atas lokasi gubuknya.  

"Elo tarik airnya ke sini pakai system pancuran gitu?"

"Yoiiiii...... Aku tampung di drum. Lumayan buat air minum sekaligus asupan air untuk kebun sayur. Aku siapkan karung bekas. Tuh. Banyak. Aku pakai untuk menanam sayuran." Guruh tersenyum menang.

"Kolam Lele kayaknya pas di pojok tebing di sana."Danang menggagas.

"Benar tuh, Ruh. Buat ngobati kerinduan Simpang Lima."Ryan menimpali.

"Usul bagus, Bro."

Udara sejuk dan ketenangan alam Bandungan menyembunyikan canda, pun karsa orang-orang dusun siang ini. Akan kisah keseharian, mereka menyimpannya di dalam hati.

Bagi laki-laki seperti Guruh, memilih menjalani hidup esok hari di tengah-tengah kesunyian alam, semata mengikuti kata-kata Einstein: "I know not with what weapons world war III will be fought, but world war IV will be fought with sticks and stone."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun