Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Muara (33)

9 Mei 2022   12:33 Diperbarui: 9 Mei 2022   20:15 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanya. Selidik. Bertian kini kah laki-laki? Menunduk. Merintih. Berkacak namun mengaduh. Muka pucat pasi pun sakit mencekik.

 

Guruh mendatangi lobang pertahanan pria bersorban. Lelaki itu masih berjaga. Ia bahkan mungkin tak pernah memejamkan matanya. Kemarahan dan sakit hati telah dikuburkan Guruh di dasar hatinya.

"Ijinkan aku untuk kembali ke kota," Guruh memohon.

"Kamu akan tertangkap." Lelaki bersorban menegaskan.

"Aku tahu."

"Kamu tahu akhir dari kisah semua manusia yang tertangkap?"

"Aku tahu."

"Berikan aku alasan bahwa tindakanmu bagian dari strategi kita."

"Mereka tidak lagi memiliki Mata. Pergerakan pasukan mereka akan berakhir di ujung rawa. Tepat di sekitar hutan bakau. Aku akan memasang dinamit di sepanjang jalur jalan sebelum akhirnya meledakan kota."

Percaya penuh pada keberhasilan Guruh, Jenderal bersorban menyetujui infiltrasi kelompok kecil pasukannya ke kota musuh.

"Kita tidak mengenal tindakan sok pahlawan dan sok jagoan. Kamu tetap bergerak dengan kawalan."

Guruh tersenyum gembira.

"Tim yang bersamaku tadi pagi akan memasuki kota malam ini."

"Baik. Hanya kalian tidak akan dilengkapi alat komunikasi apa pun. Dan ingat kode etik para penyusup."

"Diam sampai mati saat tertangkap"

Lelaki bersorban menepuk pundak Guruh. Berharap pada orang kepercayaannya yang menolak jabatan apa pun dalam pasukan, tetapi tetap memainkan peran sebagai satu dari tiga puluh orang anggota peleton khusus untuk misi rahasia pasukan.

Malam di atas muara semakin menua. Senyap bertatih mengunjungi tiap lobang dimana para prajurit goa berlindung. Tidak ada merayan dalam tidur mereka. Merayan mereka datang saat terjaga. Merayan tentang kebebasan sebagai manusia.

Nyanyian katak dan jangkrik bersahutan. Kidung alam pengiring kunjungan arwah prajurit yang gugur dalam pertempuran hari ini kepada rekan-rekan mereka di lobang-lobang pertahanan.

Guruh, Suami Menik dan dua prajurit penyertanya telah tiba di ujung muara. Mereka kemudian berbelok ke arah kota.

"Tim kita tetap seperti pagi tadi. Mas bersama satu prajurit penyerta. Aku pun demikian. Kita turun di sisi kiri dan kanan jalan ini. Mas dan tim turun di sisi jalan sebelah kiri. Ke laut. Aku dan tim di sisi jalan sebelah kanan. Ke Rawa. Kita mulai memasang bahan peledak dari ujung jalan ini, hingga tepat di batas kota." Guruh memberi arahan.

"Mohon petunjuk tentang batas waktu."

"Isian pertama diatur pukul 08.00. Isian kedua berjarak 5 menit dengan isian pertama. Begitu seterusnya sampai isian terakhir. Berapapun isian yang bisa kita upayakan, pastikan dinamit terakhir diletakkan di batas pintu kota."

"paham!" Jawab semua anggota tim serempak.

"Satu pesan terakhir, segera menghilang ke dalam air saat drone pengintai terlihat. Termal camera drone pengintai tetap tidak bisa menembus air untuk menangkap objek."

Keempat laki-laki itu kemudian turun ke air dan mulai memasang dinamit pada kedua sisi jalan.

"Mas, jika dinamit kita pasang dari ujung jalan ini ke kota, bagaimana kita kembali ke pasukan? Mengapa kita tidak memasangnya dari kota menyusuri jalan kembali ke arah muara?"tanya prajurit penyerta kepada Guruh ketika dinamit pertama tertanam.

"Kamu ingin tertembak dengan semua dinamit saat kita bergerak menuju kota?"

"Tidak."

"Seperti bermain catur. Kita menata semua bidak dan prajurit di depan, sebelum akhirnya menyerang."

"Bagaimana kita kembali?"

"Sejak kapan kamu berpikir bahwa kita akan kembali dari semua misi? Kita adalah anak panah. Yang sekali dilepaskan, tidak pernah mengharap pulang. Jika misi berhasil dan kita bisa kembali, itu hanyalah bagian dari permainan yang harus diulang dari awal."

"Maaf, Mas. Bukan aku tidak mengingat doktrin pasukan. Tetapi aku melihat sendiri bagaimana Jenderal meninggalkan kita saat kita dihakimi para kepala pasukan dengan kecurigaan tidak beralasan."

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku pun semula marah dan kecewa dengannya."

"Jadi untuk apa kita kembali ke kota dan memasang peledak di sepanjang jalan ini?"

"Kita harus mencari perempuan yang siang tadi menemukan kita di kota. Ada sebuah pesan yang tidak bisa kita pecahkan. Pesan yang mungkin memberi harapan pada kita. Manusia goa."

"Apakah kamu sungguh mempercayainya, Mas?"

"Semula aku ragu saat kamu mengajukan pertanyaan yang sama siang tadi. Aku ragu tentang perempuan itu. Aku ragu tentang apa yang ia tunjukan pada kita.Tetapi Jenderal memberikan informasi tentang kota itu, sistemnya dan semua yang hidup di dalamnya. Saat itu aku sadar, bahwa perempuan itu satu-satunya harapan kita. Kamu masih ingat apa yang dikatakannya?"

"Ia diprogram untuk membawa kita masuk ke kota."

"Jika ia diprogram untuk kita, kita pasti menemukan dia. Atau sebaliknya."Guruh mengunci settingan waktu ledak. Klik!

Beberapa drone tampak terbang berpatroli di atas jalan raya kota. Lampu indikator yang menyala merah di atas ketinggian memberi peringatan pada Guruh dan para penyusup untuk selalu membenamkan diri di air. Menghindar dari pantauan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun