“Mereka mengenalku?”
“Sangat mengenalmu.”
“Siapa mereka?”
“Mereka tidak menyebut nama. Tetapi mereka menitipkan ini kepada kami. Mereka memintanya untuk diserahkan padamu. Tidak boleh seorang pun tahu.” Suami Menik menyerahkan secarik kertas.
Guruh membukanya. Ia mengenal dengan sangat baik tulisan siapa yang menggores pesan itu. Tetapi hatinya menyangkal penglihatannya.
Sebuah pesan yang ditulis di atas selembar kartun hitam dengan grafis spidol putih.
Pater hemon, ho en tois ouranois hagiastheto to onoma sou; eltheto he basileia sou; genetheto to thelema sou: hos en ouranoi, kai epi tes ges; ton arton hemon ton epiousion dos hemin semeron; kai aphes hemin ta opheilemata hemon, hos kai hemeis aphiemen tois opheiletais hemon; kai me eisenenkeis hemas eis peirasmon, alla rhusai hemas apo tou ponerou.
(Hoti sou estin he basileia, kai he dunamis, kai he doxa eis tous aionas: Amen)
Guruh meraih kantong plastik kecil dari saku kirinya. Dilipatnya kartun itu. Dimasukan ke dalam kantong plastic. Kemudian dimasukan kembali ke saku kiri bajunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H