“Seperti ruang angkasa?” Prajurit yang menyertai Guruh menyela.
‘Bukankah kita menuju bagian puncak kota?”
“Guruh, kamu tidak pernah akan mencapai kota.” Rahab menegaskan sekali lagi.
Pintu lift masih terbuka. Pemandangan aneh di luar sana menakutkan sekaligus merindukan. Benar. Seperti gambar ruang angkasa pada situs resmi NASA. Tetapi itu hanya karya artistik. Ruang di depan ini berbeda. Nyata. Sepanjang mata menerawang, keindahan ruang menumbuhkan rasa yang aneh dalam diri.
.
“Mengapa aku tidak bisa mencapai kota?” Guruh bertanya.
“Karena duniamu dan dunia kami berbeda. Tubuh fisikmu tidak dapat masuk ke kota yang kamu lihat dan gempur setahun ini.”
Guruh terdiam. Ia berupaya mencerna maksud perkataan Rahab.
“Mungkin kamu mengada-ada. Karena sekarang kami ada di sini,” Guruh menyanggah.
“Hanya jika matriks terbuka, kamu dapat bertemu dengan aku, juga sebagian dari kami. Dunia dystopia ini adalah perangkap simulasi. Dunia dimana apa yang kamu sebut nyata bertemu langsung dengan apa yang kami sebut virtual.”
Pintu lift tertutup.