O busur yang anugrahkan kemuliaan. Atas lengkungmu tunduk manusia tak berdaya. Kebahagiaan redup dalam kejatmu. Tawa segala dirampas temalimu. Dalam pesonamu o busur yang perkasa. Anak panah melesat tak kenal galat. Kegentaran bumi bisu di belakang bayangan. Kemegahan langit siap ditaklukan.
Guruh dan Suami Menik duduk bersama para laki-laki di tengah goa sementara semua orang lain menyaksikan kumpulan para pejuang itu dari kemah mereka masing-masing. Ada harapan akan hidup yang lebih baik. Tetapi andai itu cuma ilusi, bertahan di tengah goa ini adalah anugrah yang layak disyukuri.
Pertemuan rampung menjelang tengah hari saat seorang laki-laki bersorban, berperawakan tinggi tegap berdiri dan berseru dengan suara bariton berat.
"Manusiaaaaaaaaaaaaaa........."
Pekik yang disambut riuh para penghuni goa.
"Manusiaaaaaaaaaaaaaa........."
Para penghuni goa memukul batu, akar pohon, peralatan makan dan apa saja yang menimbulkan bunyi-bunyian. Gemuruh suara manusia membakar asa. Meski esok selalu mengirimkan tanya mungkinkah matahari muncul kembali saat ia tenggelam di ufuk barat.
Seribu lima ratus orang laki-laki keluar dari goa siang itu, dan meninggalkan empat ratus orang laki-laki bersenjata menjaga goa yang dihuni kaum perempuan, anak-anak dan orang jompo. Mereka berjalan kembali ke arah muara dan mengharapkan kemenangan.
Pertempuran kemarin tidak berimbang karena orang-orang goa yang menyebut diri mereka manusia ini dibebani dengan perempuan, anak-anak dan orang tua yang menjadi prioritas penyelamatan. Hari ini, semua keluarga mereka aman di hulu. Pertempuran akan menjadi lebih berimbang.
Pasukan tiba di muara pada petang hari.
Kota megah menghampar di sisi kiri dan kanan muara. Jalan raya besar dibangun di sepanjang pesisir menghubungkan sisi kota yang satu dengan sisi kota lainnya. Cahaya lampu berwarna warni seakan memanggil siapa saja untuk  hidup dalam dunia mengesankan ini.  Puluhan drone terbang berpatroli di atas muara. Melindungi kota dari para penyerang.
Pemimpin orang-orang goa mengumpulkan semua kepala pasukan seratus, kepala pasukan tiga puluh dan kepala pasukan sepuluh di tepi muara. Para pejuang lain sudah masuk ke lobang-lobang perlindungan.
"Kita menunggu sampai fajar, baru kita menyerang. Ingat. Kendali pasukan ada pada setiap anda. Anda bertanggung jawab atas semua manuver anak buah. Juga bertanggung jawab atas komunikasi antar pasukan. Komando tertinggi ada pada saya."
Laki-laki tegap bersorban itu memperingatkan seluruh pasukan. Â Perang satu tahun ini menjadikannya terlihat lebih tua dari usianya. Ia "melepaskan" dinasnya dan bergabung dengan orang-orang goa setelah ia menjadi tawanan mereka dan tidak pernah dicari.
Semula dia, adalah salah satu otak pemusnahan orang-orang goa. Ia mengejar mereka. Menyiksa mereka di kursi listrik. Mengubah mereka menjadi sama seperti profilnya terdahulu.
Tetapi dalam serangan di ujung musim penghujan, pasukannya terdesak. Kendaraan yang ditumpanginya terjebak lumpur delta. Ia menjadi tawanan para penghuni goa selama tiga bulan. Bulan-bulan yang mengubah ia seutuhnya. Meninggalkan semua yang ia miliki untuk berperang di sisi orang-orang goa.
"Guruh, kamu akan masuk ke kota malam ini?"Pemimpin bersorban itu mendekati Guruh.
"Iya, Bang."Guruh menjawab penuh keyakinan.
"Kamu tidak boleh menyusup seorang diri."
"Tidak Bang. Aku bersama Kakak Iparku."
"Aku menyertakan dua prajurit lagi".
"Terima kasih, Bang"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H