Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.
"Hallo, Nduk. Selamat pagi...... Udah keluar Purwokerto beberapa menit lalu....Gak usah jemput. Ibu dan Bapak naik mini bus saja dari Sawangan ke Selomerto....Oke, nanti Ibu kabari...."
Bu Sri menutup tilpun genggamnya. Ia meraih botol minuman mineralnya yang diletakan di belakang kursi penumpang yang duduk di depannya. Diteguknya. Diletakan kembali botol minuman di tempatnya. "Menik sudah dikabari. Gak usah menjemput. Kita naik mini bus saja ke Selomerto," wajah Bu Sri menoleh ke arah sang suami. Guru Bisma mengangguk sambil melepaskan earphone yang menggantung di telinganya.
Bus tiba di terminal Sawangan lebih cepat satu setengah jam dari jadwal. Sejak semula agen bus di Pondok Pinang sendiri tidak bisa memastikan jam berapa bus akan tiba di Wonosobo. Sementara Guru Bisma membutuhkan kepastian jadwal itu. Ia tidak ingin menunggu dalam kegelapan pagi di stasiun bus. Selain tidak aman, ia sendiri bukan tipe orang yang suka menunggu sesuatu yang tidak jelas.
“Kita masih harus menunggu sekitar lima belas menit lagi,”Guru Bisma sedikit menggerutu saat menarik koper pakaian dari bagasi bawah bus.
“Tidak apa-apa. Kita menunggu di warung saja,”Bu Sri menenangkan.
“Memang sudah ada warung buka sepagi ini, Bu?”
“Ya, kita tanyakan saja pada petugas terminal atau orang-orang yang berdiri di sana”
Guru Bisma dan Bu Sri akhirnya menemukan sebuah warung makan di luar terminal. Keduanya masuk dan duduk di kursi panjang yang dipajang di sisi kiri warung. Berhadapan dengan mereka dua orang laki-laki muda berpakaian necis yang duduk di kursi panjang lain yang terletak di sisi kanan warung. Di antara kedua kursi panjang itu sebuah etalase besar berisi makanan dan jajanan diletakan.
Guru Bisma memesan secangkir kopi panas. Bu Sri justru meminta es teh meski udara pagi Wonosobo terasa dingin menusuk kulit. Kedua laki-laki yang duduk di seberang etalase nampaknya sedang terlibat diskusi serius. Tetapi mereka bercakap-cakap dalam volume suara yang begitu kecil, Seakan tidak ingin seorang pun mendengar.
“Kita sepakat tentang patogen?,”suara laki-laki berbaju biru pelan
“Sepakat. Di situ intinya. Kita hanya bisa mendefinisikannya dalam tiga langkah fundamental. Isolasi. Amati. Definisi,”sambut laki-laki lain berbaju putih.
“Tepat sekali. Itu prosedur standarnya. Di dunia ultra modern kita, teleskop elektronik mampu membantu dilakukannya dua langkah terakhir, jika langkah pertama sudah dilakukan.”
“Yoi, Bro. Dan faktanya….faktanya…,”lelaki berbaju putih memancing koor.
“Tidak satupun dari ketiganya dilakukan,”keduanya kompak bersuara.
“Phsycological warfare,”suara laki-laki berbaju putih lirih.
“Deception,” timpa temannya berbaju biru.
Guru Bisma dan Bu Sri hanya diam. Mereka tidak memahami apa yang didiskusikan kedua laki-laki itu. Di luar warung suara orang mulai ramai terdengar. Para sopir, kernet dan para petani yang mengangkut hasil menghidupi pagi dengan aktivitas mereka.
Guru Bisma mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan menyodorkannya kepada pemilik warung. “Bu, nuwun sewu”.
Pemilik warung menerima uang pemberian Guru Bisma. “Unjukane nopo mawon?,”sang pemilik warung memeriksa.
“Kopi setunggal. Es teh setunggal. Pisang goreng e kaleh,”jawab Guru Bisma.
“Inggih, Pak. Enem ewu sedoyo,”Pemilik warung memastikan hitunganya dan memberikan uang kembalian kepada Guru Bisma.
Guru Bisma dan Bu Sri kemudian keluar warung dan masuk kembali ke terminal. Mini bus Wonosobo – Selomerto sudah diisi 5 orang penumpang saat keduanya naik, berjalan masuk ke kursi belakang.
“Cung,…..ayo mangkat,” teriak sang sopir kepada kernet sambil menghidupkan mesin.
“Iki isine wong pitu to,” sang kernet protes.
“Wes. Akeh cah sekolah neng dalan,” sang sopir segera membawa kendaraannya yang hanya berisi tujuh orang penumpang ke luar terminal.
Bu Sri menekan tombol “hidup” telepon genggamnya. Pukul 05.20. Masih pagi. Ia berpikir dalam hati. Ia berusaha menutup matanya sekedar untuk mengusir rasa kantuk yang masih enggan pergi darinya. Tetapi sang sopir mengendarai busnya sedikit ugal-ugalan membuat matanya sukar dipejamkan. Sopir mini bus sempat beberapa kali berhenti mendadak untuk mengambil anak-anak sekolah yang berangkat pagi. Beberapa kali ia sempat menyalip truk yang berada di depan.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”, teriak para penumpang saat sebuah truk gandeng melaju dari arah berlawanan tepat saat sang sopir melambung sebuah truk pasir di depannya. Sopir bus mini yang kaget membanting setir ke kanan menghindari tabakan. Bus yang melaju dengan kecepatan tinggi itu terbang melewati trotoar. Para penumpang berteriak histeris.
“Booooommmmm!!!!,” suara seperti bunyi ledakan membangunkan para penduduk ketika bus menghantam pepohonan di tepi jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H