“Tepat sekali. Itu prosedur standarnya. Di dunia ultra modern kita, teleskop elektronik mampu membantu dilakukannya dua langkah terakhir, jika langkah pertama sudah dilakukan.”
“Yoi, Bro. Dan faktanya….faktanya…,”lelaki berbaju putih memancing koor.
“Tidak satupun dari ketiganya dilakukan,”keduanya kompak bersuara.
“Phsycological warfare,”suara laki-laki berbaju putih lirih.
“Deception,” timpa temannya berbaju biru.
Guru Bisma dan Bu Sri hanya diam. Mereka tidak memahami apa yang didiskusikan kedua laki-laki itu. Di luar warung suara orang mulai ramai terdengar. Para sopir, kernet dan para petani yang mengangkut hasil menghidupi pagi dengan aktivitas mereka.
Guru Bisma mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan menyodorkannya kepada pemilik warung. “Bu, nuwun sewu”.
Pemilik warung menerima uang pemberian Guru Bisma. “Unjukane nopo mawon?,”sang pemilik warung memeriksa.
“Kopi setunggal. Es teh setunggal. Pisang goreng e kaleh,”jawab Guru Bisma.
“Inggih, Pak. Enem ewu sedoyo,”Pemilik warung memastikan hitunganya dan memberikan uang kembalian kepada Guru Bisma.
Guru Bisma dan Bu Sri kemudian keluar warung dan masuk kembali ke terminal. Mini bus Wonosobo – Selomerto sudah diisi 5 orang penumpang saat keduanya naik, berjalan masuk ke kursi belakang.