Mohon tunggu...
Roohtav Namhor
Roohtav Namhor Mohon Tunggu... -

tak ada yang hendak terungkap di sini. melainkan hanya syahdu kesyukuran kepadaNya. untuk setiap hembus nafas. juga untuk sahabat di manapun berada, celoteh riang ini tak akan menjadi sesuatu yang membumi tanpa kehadiran kalian semua. secuil kerak pikiran dalam riuh jejak kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jeda

2 April 2010   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jangan. Jangan lagi kau buka hati ini dengan lirikan matamu yang membunuh. Aku tahu, semua cinta yang pernah kau tikamkan ke ulu hatiku adalah atas nama kebengisan dan dendam. Dan semuanya menjadi begitu berarti saat dunia memporak-porandakan prasangkamu padaku.


Lihatlah. Matahari masih bermain dengan butir-butir cahaya yang menusuk sel-sel udara, lalu memproklamirkan warna baru bagi kulitku. Tak peduli dengan serapah kernet angkot yang menyadari penumpang terakhir berseragam SMA ternyata hanya seorang lulusan SD, atau lengkingan lokomotif yang membusai-busai pagi.

Mungkin, panas mentari tak hendak dicacimaki, kendati seliar apapun!

Dugaanku, ia sedang terjebak dalam tubuh kasarnya sendiri. Sesuatu yang fenomenal, di mana tahi kambing tak ada sangkut-pautnya dengan kacang goreng, di mana derma gak nyambung dengan legalisasi uang korupsi, di mana kuku jauh dari ramalan garis tangan, dan di mana kursi kehormatan selalu memberi jalan digitalisasi adegan ranjang.

Matahari beberapa jengkal di atas daun telinga. Lelaki tua trenyuh mencari-cari nafas yang baru dihembusnya. Dan mencengkerama asap rokok yang asyik berselingkuh dengan knalpot. Kukira ia sedang membiarkan waktu menggerogotinya, hingga lenyap tak berbekas. Lalu menghasut udara untuk mencincang aroma hari ini dengan segepok daun ganja. Sebelum akhirnya dihantam taksi yang balap dengan jabang bayi di rahim penumpangnya.

Kini ia berdiri memunggungi kerah hari; tertunduk bercakap-cakap dengan kebisuannya. Tak lama, sebab sebentar kemudian dia kembali menyetubuhi asap rokok yang nyaris tinggal gabusnya saja, dengan harapan bisa hamil dan jelas silsilahnya.

Sekarang kau tahu bukan? Banjir telah menggelandang kedewasaan ini, jauh menghantam pucuk-pucuk iba, sehingga insomnia menyergapku dari segala arah. Belum lagi kelupaanku tentang mengusap ingus yang meleleh.

Tak ayal, kulepaskan saja leher ini untuk menuntaskan kerinduan bumi yang terkoyak. Agar kau puas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun