Mohon tunggu...
Roohtav Namhor
Roohtav Namhor Mohon Tunggu... -

tak ada yang hendak terungkap di sini. melainkan hanya syahdu kesyukuran kepadaNya. untuk setiap hembus nafas. juga untuk sahabat di manapun berada, celoteh riang ini tak akan menjadi sesuatu yang membumi tanpa kehadiran kalian semua. secuil kerak pikiran dalam riuh jejak kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tugas Kita Memang...

2 April 2010   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tersentak pagi ini ketika iseng-iseng menelisik label bea cukai di bungkus rokok Maraiboros yang telah biasa saya seruput silih berganti bersama hisapan kopi selama 3 tahun ke belakang ini. Entah saya yang kuper atau memang kuper, dari 3 tahun itu kenapa saya baru menyadari sesuatu yang membuat hati dan kantong saya terpukul.

Alamak! ternyata cukai rokok itu (rokok yang saya konsumsi maksudnya, saya tidak tahu untuk merk dan jenis rokok lainnya) 50% dari harganya. Dengan asumsi beli di toko biasa, sebungkus Maraiboros dihargai Rp. 11.000,- dengan cukai sebesar Rp. 275,-/batang. Dengan 20 batang di setiap bungkusnya, ini berarti total cukai untuk sebungkus Maraiboros menjadi sebesar Rp. 5.500,- (20 btg x Rp. 275,-). Oh, Tuhan! Ternyata selain mempertaruhkan sisi kesehatan diri, saya juga menggadaikan kredibilitas saya sebagai orang miskin.

Sewaktu memutuskan untuk memulai ritual mulia merokok, saya selalu membesarkan hati saya (baca: ngeles) bahwa dengan merokok, saya ikut memperpanjang nafas para karyawan pabrik rokok. Itulah kenapa kemudian saya menyebutnya mulia. *maksain.com

Hingga kemudian sesuatu yang lebih membuat saya terpukul ketimbang mengetahui nominal cukai rokok itu menghiasi media akhir-akhir ini. Bagaimana rakyat yang harus mengiris nadi sendiri untuk hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Rakyat kecil yang dibebani kewajiban membayar upeti (campur golok kalau sampai menunggak. *asli kalo ini hipebolik), sementara rakyat besar dengan leluasa menangguhkan (atau kiranya perlu dibaca: meniadakan?) membayar pajak. Bagaimana hasil keringat rakyat itu dengan jumawanya digelapkan untuk memperkaya diri.

Saya tidak tahu apakah saya harus pesimis dengan kondisi negeri ini. Dari hari ke hari, perbaikan yang diharapkan tak kunjung datang. Ya. Sepertinya saya memang pesimis, terlepas dari kewajiban setiap warga negara untuk turut serta dalam proses pemerintahan. Seperti apapun peran itu. Tapi entah kenapa ketidakwarasan itu sangat masif. Seperti virus dengan daya jelajah tinggi dan tak pandang bulu. Dari kelas Kingkong sampai kelas Kangkung, semua terjangkit. Sepertinya kita memang harus mengusulkan agar korupsi menjadi salah satu alasan kenapa hukuman mati menjadi layak untuk dijatuhkan.

Memang selalu menjadi tugas kita untuk memperbaiki semuanya. Kita yang harus menyiapkan generasi yang mumpuni. Generasi yang sehat jasmani dan rohani. Bukan generasi yang hanya tahu celurit, arak, dan onani. Miris memang melihat perkembangan generasi muda kita saat ini. Di saat kita membutuhkan calon-calon pemimpin bangsa yang tangguh, yang justru tersaji di hadapan kita adalah sosok muda yang takluk di botol minuman keras. Di saat kita butuh kandidat-kandidat diplomat yang brilian, kita disuguhi film-film karya sutradara kacangan yang hanya berbekal kamera henpon dan muka badak. Di saat kita butuh sosok panutan yang santun, kita dihadapkan pada kenyataan tato dan bekas luka sabetan senjata tajam menjadi sesuatu yang membanggakan, hingga tepuk tangan pun dipertandingkan.

Ah, tugas kita memang. Selalu menjadi tugas kita.

**tulisan ini sengaja dibuat tidak fokus, mengiringi otak saya yang sedang bebal untuk diajak fokus.. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun