Mohon tunggu...
Rony K. Pratama
Rony K. Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pandemi dan Ketakutan Mati

15 Juli 2021   15:01 Diperbarui: 15 Juli 2021   15:35 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

pandemi membuat perasaanku tidak karuan. berita duka silih berganti hampir setiap saat. ketika mendengar atau membaca warta lelayu, pikiran yang spontan muncul adalah mengapa terlalu cepat, siapa lagi giliran berikutnya. perihal wafat, pikiranku langsung terpaut puisinya subagio sastrowardoyo: "dan kematian makin akrab"--dan benar tak ada yang dekat kecuali kematian. sesuatu yang kutakutkan sejak di bangku sekolah menengah pertama.


pada masa SMP, sewaktu kelas VII, ketakutan akan kematian di usia muda berbarengan dengan gempa yogya tahun 2006. seusai gempa besar beberapa saat aku tetap pergi ke sekolah. itu hari sabtu dan di sekolah rutin menggelar latihan ujian semester. setelah ujian yang kurang dari dua jam kami diminta pulang. ketika mengayuh sepeda menuju depan gerbang sekolah, berbondong-bondong orang berteriak "banyune wis tekan jalan solo, saiki wis tekan amplaz" seraya mengajak bergegas menuju utara.


antara ikut atau melawan arus, aku kebingungan betul saat itu. segera kuputuskan pulang ke rumah. sepedaku kukayuh kencang sampai perempatan condong catur. ternyata lautan manusia sudah menyemut di sana. yang dari utara ternyata ingin ke selatan. begitu pula sebaliknya. memang waktu itu tersiar dua isu. merapi sedang punya gawe dan tsunami di pantai selatan. perempatan condong catur yang sehari-harinya sudah ramai pun tambah padat. kepanikan massal benar-benar kami rasakan.


di tengah kerumunan dan teriakan mereka, aku berusaha menembus lautan manusia serta spontan berpikir apakah sekarang waktunya kiamat? bayangan kiamat yang dituturkan guru-guruku dulu bergelayutan di benakku. ketika gunung memuntahkan isinya, tsunami melahap apa pun di depannya, magma dalam bumi memuncrat ...


namun, aku berpikir bukankah semua kejadian tersebut didahului oleh terompet malaikat israfil? kalau tak ada tiupan berarti belum kiamat, bukan? entahlah. selang beberapa waktu dan langkah, bapakku ternyata menjemput. ia melambaikan tangan di depan toko buku toga mas. aku pun pulang ke rumah dengan amat ketakutan akan kematian. sampai sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun