Jangan salahkan guru yang masih mengajar dengan berpedoman pada LKS dan memberi soal pilihan ganda yang cuma dipilihkan empat atau lima butir pilihan itu. Mereka melakukan demikian barangkali karena tuntutan dari atasan yang bersifat instruktif. Pengajar yang mempunyai daya kreatif saja yang bisa keluar dari sekat-sekat beku semacam itu.
Kita selalu mengomparasikan kualitas pendidikan di negeri ini dengan Finlandia yang konon menerapkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara secara utuh dan mendalam. Tapi kita lupa bahwa kita juga melakukan penerapan itu, walaupun sebatas simbol yang terlalu dikultuskan dan diglorifikasikan sebagai leluhur yang kudus.
Apa kita kepingin seperti Finlandia dengan dan melalui praktik pendidikannya yang menempati posisi atas menurut survei internasional yang prestisius itu? Lantas, bagaimana memulainya, sementara masalah pendidikan di negeri ini mustahil diuraikan dan dipecahkan hanya dengan satu pendekatan keilmuan saja.
Problematika pendidikan kita semakin mengemuka dan telah memasuki stadium tak tercatat kategori apa pun. Terlebih, wacana sekolah lima hari dengan delapan jam perhari itu hampir ketuk palu. Diprediksi akan diterapkan pada Juli mendatang.
Dipikirnnya urusan pendidikan itu cuma di dalam kelas dan lingkungan sekolah. Apa tak ada pertimbangan yang lebih logis mengingat peta sosiologi masyarakat kita beragam: di wilayah sana, siswa-siswi itu, harus menempuh perjalanan pulang dengan menyusuri sungai, hutan, dan rawa-rawa yang memakan waktu dua jam lebih.
Sementara di daerah lain, para murid itu, harus menjadi bagian dari komunitas literasi yang bergerak dalam bidang penyebaran buku bagi anak-anak lain yang putus sekolah karena akibat dari kesenjangan ekonomi dan faktor lainnya.
Apa pendidikan itu cuma mengerjakan PR, terutama diambilkan dari LKS, dengan masing-masing pengajar memerintahkan hal sama. Satu hari, lima PR. Sampai rumah bukan langsung membaur bersama keluarga dan tetangga, melainkan duduk, tunduk, tangan mengapit pensil, dan mengerjakan satu per satu sambil menggerutu karena merasa terpenjara oleh tuntutan-tuntutan absurd itu.
Apa sekolah tak mengajarkan ilmu kebahagiaan? Seharusnya mereka bisa belajar memaknai hidup melalui membaca karya sastra dan mengekspresikan diri dengan seni, baik musik, rupa, maupun tari. Namun, realitas berbanding terbalik. Mereka cuma diajarkan untuk menghafalkan nama pengarang dan judul karya sastra. Mereka hanya disuapi teori-teori seni tanpa masuk ke salam jagat kesenian secara empiris.
Lebih ironi lagi tatkala pelajaran seni dan olah raga digantikan pelajaran mayor yang di-UN-kan dengan dalih lebih penting, mendesak, dan buat apa belajar seni, toh, itu tidak ada ujian nasional tentangnya. Apa untungnya belajar itu? Toh uang banyak dan karier cemerlang tidak dimiliki oleh para seniman, tetapi profesi-profesi lain yang dikonstruksi zaman sebagai pusat modernisme yang menguntungkan secara finansial.
Sekolah tak membebaskan siswa untuk menjadi apa pun asalkan bermanfaat dan dilandasi rasa cinta. Yang ada cuma tuntutan yang artifisial karena mereka dipersiapkan sebagai pekerja masa depan. Bukan sebagai manusia seutuhnya.
#curhat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H