Pertama, menguatkan loyalitas untuk kepentingan bangsa. Siswa SMA Taruna Nusantara dididik melalui pendekatan interpersonal sehingga tak sekadar lantip dalam pengetahuan, namun juga lembut dalam bersikap pada guru, siswa, maupun pegawai. Sistem asrama yang menjadi ciri khas sekolah membuat proses pendidikan tak hanya berada di ruang kelas, melainkan di tiap sudut sekolah. Hal tersebut senada dengan pemikiran Paulo Freire ihwal pendidikan yang membebaskan peserta didik terhadap lingkungan yang menghimpit. Selain itu, Freire juga berpendapat, bahwa ruang pendidikan sepantasnya berada di mana pun dan kapan pun—tak terikat ruang dan waktu.
Kedua, prinsip kejuangan dalam mempertahankan negara dari intervensi kelompok atau negara lain. Erhard Eppler, akademikus yang menggeluti relasi politik dan militer, mengenalkan prinsip recognizable face untuk memahami pertahanan sebagai wajah suatu negara.* Pada konteks demikian, siswa SMA Taruna Nusantara diarahkan untuk memiliki prinsip kejuangan dalam mempertahankan martabat negara di mata luar negeri. Sejalan dengan azas jus ad bellum, para siswa diharapkan memiliki kepantasan personal untuk menjaga “wajah negara” agar selalu wibawa.
Ketiga, wawasan kebudayaan. Aspek ketiga ini menitikberatkan pada moralitas siswa. Pencapaian moralitas itu dapat ditempuh melalui jalan kesenian. Kehadiran ekstrakurikuler SMA Taruna Nusantara yang berbasis kesenian mampu memperhalus budi siswa menjadi lebih beradab. Dengan demikian, derivasi kesenian yang berwujud aksara bernama sastra mampu membangkitkan kepekaan jiwa dalam berdiplomasi melalui puisi, mengekspresikan karakter lewat teater, tajam literasi melangkaui membaca maupun menulis. Selain itu, kemampuan seni siswa melalui gerak yang gemulai juga dapat diasah dengan seni tari atau koreografi dan kepekaan visual yang dapat dicurahkan via seni menggambar atau melukis.
Tiga aspek di atas setidaknya merupakan variabel mayor dalam mewujudkan iklim sekolah rujukan SMA Taruna Nusantara demi mempersiapkan generasi masa depan yang tangguh secara intelekual dan mental. Walaupun demikian, ia akan berada di ruang gagasan semata bila tak ada sinergi antara pemerintah, guru, maupun siswa. Ketiganya harus saling terintegrasi agar mekanisme perwujudan gagasan berjalan secara kondusif sehingga predikat sekolah rujukan tak sekadar eksistensi semata, melainkan substansi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.[]
* Sebetulnya pandangan Eppler sedikit banyak terinspirasi Max Weber (sosiolog klasik), terutama berkaitan dengan politik identitas dalam dunia militer. Lihat, Erhard Eppler, The Return of the State? (London: The Global Policy Institute, 2009), hal. 65-66.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H