PUASA diperintahkan kepada manusia untuk menemukan kesejatian makrokosmos Tuhan di dalam diri. Ia tak sekadar menahan diri atas segala sesuatu yang berwujud fisik, melainkan juga dimensi rohani yang lembut, abstrak, dan tak kasat mata sehingga dibutuhkan iman sebagai fondasi teologisnya. Oleh karena puasa sebagai laku menahan diri demi menemukan kesejatian, ia dinilai oleh Tuhan secara langsung dan privat. Manusia, dalam konteks sebagai subjek, tak dapat mengalkulasi atas limpahan langsung dari-Nya. Kuantitas pahala yang acap kali diperhitungkan manusia tak berlaku di sini.
Berpuasa tak berarti meninggalkan peran sosiologis secara horizontal sesama manusia dan sekadar berfokus secara vertikal kepada Tuhan semata. Ia cenderung berada di garis batas antara hubungan Tuhan dan manusia. Keduanya tak dapat dipisahkan secara fragmentaris. Karena itu, puasa berisfat dialektis: hubungan kepada Tuhan dan manusia bersifat satu kesatuan dalam lingkup ibadah yang utuh. Kenyataan demikian menegaskan betapa orang berpuasa tak seyogianya melalaikan urusan antarmanusia, apalagi menjadikan puasa itu sebagai pembenaran untuk bermalasan.
Perjalanan privat “manusia puasa” ditempuh dengan kesadaran penghambaan menuju sangkan paran. Jalan tersebut ditempuh dengan rasa ikhlas untuk menetralkan jasad dan rohani dari pelbagai kemungkaran selama menjalani hidup. Tatkala kumandang adzan subuh bergema, mulut hingga usus mulai menahan sirkulasi makanan bendawi. Selama matahari belum menenggelamkan dirinya di ufuk barat, metabolisme tubuh tak direpoti untuk memanajemen penguraian protein dan vitamin dari aneka kuliner.
Sementara itu, kontraksi kecil dari lambung direspons melalui serabut neuron menuju otak sehingga diketahui informasi adanya rasa lapar dan haus yang diolah oleh memori otak. Realitas fisiologis tersebut terjadi atas konsekuensi logis proses puasa berdasarkan perspektif jasadi. Kalau puasa sekadar menahan rasa lapar dan haus, maka batin manusia akan penuh derita. Ekspresi verbal dan sikap terhadapnya dapat berwujud omelan keluh-kesah dan mudah tersulut emosi tatkala berada di lingkungan heterogen.
Namun, apabila kualitas puasa telah mencapai kesadaran rohani, urusan makan dan minum bukan variabel utama, melainkan pengendalian diri terhadap sesuatu yang sia-sia, kesementaraan, palsu, dan menuju kesejatian rida-Nya adalah keutaman mayor. Dalam konteks tersebut dikenal sebagai penghayatan puasa secara kafah: komprehensif, absolut, dan infinitif. Jika kesungguhan berpuasa semacam itu dihayati sungguh-sungguh, maka tak ada lagi “puasa bersyarat” yang pamrih, ingin diapresiasi orang lain bahwa dirinya berpuasa, maupun dipredikatkan orang lain sebagai ahli puasa—puasa sebagai identitas.
Berpuasa berarti mengambil jarak terhadap sesuatu yang mengaburkan fokus menuju-Nya. Pengambilan jarak tak hanya didasarkan pada sesuatu di luar diri, tetapi juga di dalam diri. Hal yang berkaitan dengan luar diri barangkali dapat diterka melalui panca indra. Akan tetapi, sesuatu di dalam diri bersifat abstrak sehingga dibutuhkan instrospeksi secara ajek untuk menemukan kesejatian niat berpuasa. Karena itu, kontemplasi sangat penting untuk menjernihkan pelbagai motif internal yang bersemayam di dalam diri manusia.
Kesejatian motif berpuasa hanya satu, yakni mendapatkan limpahan rahmat Tuhan. Kalau motif berpuasa sudah dikeruhkan oleh harapan meraup atensi, apresiasi, maupun ingin ditoleransi manusia, maka bukan puasa kesejatian menuju-Nya, melainkan puasa kefanaan menuju eksistensi. Apabila jalan semacam itu ditempuh, alih-alih rida Tuhan merasuk melalui ubun-ubun manusia, malahan ia hanya mendapatkan rasa lapar dan haus semata.
Di tengah konflik aktual yang beredar di jejaring sosial ihwal “mengapresiasi” dan “diapresiasi” dalam berpuasa, sekonyong-konyong manusia berbalik arah ke tujuan semu dan tengadah mengharap gelimang perhatian sesama manusia. Perseteruan tersebut mengabaikan limpahan anugerah dari Tuhan bagi orang yang berpuasa secara kafah. Ia cenderung menunggu tanda hormat berupa tuturan maupun sikap dari orang lain.
Bagi orang yang berpuasa tanpa pamrih, ia tak berada di pusaran eksistensi “gila hormat” atas keadaan berpuasanya, karena mendapatkan rida dari Tuhan sudahlah cukup menyegarkan batinnya. Ia sudah otomatis menghormati orang lain, bukan karena sedang berpuasa, tetapi sikap hormat terhadap sesama manusia telah “mendarah daging” pada dirinya. Ia tak lagi menjalani puasa sebagai suatu tuntutan kewajiban, melainkan ia telah berubah menjadi “manusia puasa”.
Tingkatan manusia demikian tak lagi terpengaruh oleh iming-iming kehormatan yang dipredikatkan oleh orang lain. Baginya, jalan sunyi dan dialektika tanpa batas dengan Tuhan sudahlah cukup. Ia memberi tanpa mengharap kembali. Ia mencintai untuk keseimbangan kosmos. Ekspresi “manusia puasa” seperti itu menandakan kedamaian horizontal dan vertikal. Namun, apakah tiap manusia rela menanggalkan kepongahannya terhadap Tuhan dan saudara semanusianya demi mencapai kesejatian makrokosmos melalui puasa?[]
Yogyakarta, 18 Juni 2016