Mohon tunggu...
Rony K. Pratama
Rony K. Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Digembalakan Materi, Karya Seni Kehilangan Waskita

29 Mei 2016   14:48 Diperbarui: 29 Mei 2016   15:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GARIS batas pemisah berkesenian[1] di Indonesia “masih” belum terlepas dari dualitas pemikiran yang dipertentangkan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) dan Menikebu (Manifest Kebudayaan), yakni “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni”. Kecenderungan pertama didasari oleh keberadaan masyarakat yang dijadikan sebagai objek lahirnya suatu kesenian. 

Pada konteks demikian, seni tak boleh terlepas dari kenyataan sosio-kultural sehingga kelahirannya diposisikan sebagai “anak rohani” dari realitas empiris di masyarakat. Sepanjang perkembangannya, ia “membentuk” dan “dibentuk” melalui perseturuan politik yang revolusioner. Karena itu, pegiat yang berada pada pihak “seni untuk rakyat” acap kali memposisikan seni untuk melegitimasi jalan politik sebagai panglima.

Sementara itu, kecenderungan kedua yang menghendaki “seni untuk seni” berangkat dari niat luhur proses berkesenian yang tak boleh diintervensi oleh variabel apa pun—sekali pun melalui dimensi politik, baik secara singular maupun plural. Seni harus steril dari “dunia luar” yang intrik kepentingan. Karena itu, posisi berkesenian harus berangkat dari ruang kreatif seniman secara personal dan privat. Walaupun pada aplikasinya ia disandingkan dengan dimensi di luar dirinya, semata-mata kondisi demikian termasuk ke dalam “kedaulatan” seniman yang tak boleh digugat.

Oposisi “ideologi” yang berangkat dari kecenderungan di atas populer di jagat kesenian Indonesia pada rentang waktu 60-70-an. Hampir lima dekade yang lampau keduanya saling berpolemik melalui media massa, slogan visual di sudut jalan, dan didengungkan di mimbar akademik—dari sarasehan hingga simposium ilmiah. Oleh karena polemik telah dimulai sejak di paruh usia Indonesia yang masih “jagung”, maka pertanyaan yang muncul berdasarkan dualitas sudut pandang berkesenian menurut versi masing-masing terikat oleh dua kata tanya, yakni “apa” dan “bagaimana”.

Apakah keduanya “masih” saling beroposisi sehingga kecenderungan berkesenian di Indonesia ditentukan oleh dikotomi berdasarkan pembagian “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni”? Apakah terbentuk kecenderungan baru berdasarkan keduanya? Bagaimana proses terbentuknya? Beberapa pertanyaan tersebut layak diperbincangkan lebih lanjut.

Kalkulasi Seni, Meraup Materi

PADA tahun 2016, berlaku “diktum zaman” berupa “seni untuk materi”. Kalau lima dekade sebelumnya populer dengan “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni”, maka dewasa ini keduanya berganti: “seni untuk meraup keuntungan finansial dari rakyat” dan “seni untuk seni yang dipesan dengan rupiah yang fantastis oleh pemilik modal”. Fenomena demikian bukan suatu kesalahan fatal dalam peradaban, sebab peradaban yang “mencakar” sekarang ini ialah peradaban materi.

Zaman “mengondisikan” para seniman untuk bertuhan—dengan “t” kecil—pada “materi sebagai panglima”. Karena itu, ia wajib diamini melalui laku keseharian dalam proses berkesenian. Barangsiapa tak berkarya berdasarkan “tuhan uang”, maka ia akan tersungkur di tikungan peradaban yang semakin mencekik. Seniman, pada konteks semacam ini, dihadapkan oleh badai kapitalistik. Apabila menolak, konsekuensi logisnya ialah lapar dan jatuh miskin.

Kedaulatan seniman diuji oleh peradaban. Bagi ia yang tak terperdaya oleh tipu muslihat, maka akan lolos ke tahap selanjutnya, yakni kontinuitas berkesenian yang (tetap) akan terus diuji. Namun, apabila seniman takluk pada keadaan, ia akan bergelimang materi dari arus kapitalistik. Oleh sebab itu, ia akan berada pada keadaan kebutuhan hidup duniawi yang senantiasa terpenuhi. Kalau ia beruntung, bonus utama untuknya ialah popularitas. Eksistensi pun menjadi dogmanya.

Materi bukanlah tujuan, melainkan jalan. Seniman di zaman smartphone ini acap kali menomorsatukan kesenian sebagai faktor utama untuk memperkaya diri. Meski di balik proses berkeseniannya dilandasi oleh tujuan sosial, namun pada praktiknya ia menanti “gayung bersambut” dari keuntungan materi tujuan sosialnya. Karena itu, seniman yang mengambil jalan tersebut berkelindan dengan jiwa oportunistis. Daya kreatifnya mandek, kalau ia tak mendapatkan “pesanan” yang menguntungkan, sebab “tuhan”-nya ialah materi dan popularitas.

Nihil Bebrayan Agung

SEBAGAIMANA yang diuraikan pada paragraf di atas, jurang pemisah proses berkesenian di antara dua kutub[2], yakni masa Lekra-Manikebu dan zaman Smartphone 2016, ditandai oleh konsep bebrayan agung yang “memposisikan” proses berkesenian pada “laku” gotong-royong. Kendati di masa Lekra dan Manikebu intrik pertentangan, setidaknya keduanya sama-sama menjunjung gotong-royong sebagai jalan berkesenian. Sementara itu, di zaman Smartphone 2016, nilai bebrayan agung telah “dikondisikan” untuk kerja individu yang instan, oportunistis, dan materialistis.

Walaupun abstraksi-dikotomis antara Lekra-Manikebu dan zaman Smartphone 2016 tak bisa digeneralisasi, sebagaimana dipaparkan di atas, setidaknya gejala umum yang terjadi di masyarakat kesenian menyatakan demikian. Alih-alih bebrayan agung diletakan sebagai ruh berkesenian, ia barangkali hanya diposisikan sekadar dekorasi pelengkap. Apalagi, di tengah iklim kapitalistik yang mengedepankan “Ke-uang-an Yang Maha Kuasa”; apa pun sering kali dikaitkan dengan materi.

Kalau diteropong sejenak realitas proses berkesenian di era 60-an di Yogyakarta, masyarakat di sekitar Malioboro sangat beruntung, karena ia ikut merasakan kepengasuhan Umbu Landu Paranggi. Umbu dikenal sebagai “Presiden Malioboro” yang turut mendirikan Persada Studi Klub (PSK)—komunitas penyair (sastrawan) muda tahun 1969-1977 yang kala itu Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santoso, Suminto A. Sayuti, Ragil Suwarna Pragolopati, dll. menjadi anggotanya.

Umbu melakukan kepengasuhan literasi kepada para tukang becak yang “buta huruf”. Tiap malam, Umbu kerap menenteng beberapa kertas untuk dijadikan media pembelajaran tukang becak. Ketekunan Umbu membuahkan hasil. Para tukang becak itu pun mampu membaca maupun menulis (puisi). Umbu, sang seniman yang sekarang memilih Bali sebagai tempat tinggalnya, menerapkan apa yang dunia universitas menyebutnya sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi: pengabdian kepada masyarakat. Pada masa itu, para seniman “mengabdikan” dirinya untuk masyarakat melalui semangat bebrayan agung, yang di masa kini tinggal “artefak nostalgia” semata.

Di mana Posisi Kita?

SKALA makro peta kecenderungan berkesenian di Indonesia yang telah dipaparkan di atas dapat direfleksikan demi “perjalanan” berkesenian di tingkat mikro, yakni di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan pelbagai potensi dimensi kesenian, yakni sastra, musik, rupa/kriya, dan tari, di “kampus ungu”, perbedaan pandangan dalam berkesenian merupakan suatu keniscayaan yang tak terhindarkan.

Secara sekilas, peta berkesenian di kampus yang dikenal umum sebagai kampus “budaya” ini boleh jadi tersekat oleh “dinding parsial”. Antarpegiat kesenian membentuk demarkasi-imajiner sehingga masing-masing pegiat aktif di “dunianya” sendiri. Tak ada relasi yang mendialogkan antarsatu sama lainya. Kalau pun ada, ia hanya dipertautkan oleh “acara seremonial” yang diinisiasi organisasi kampus.

Selain berkoloni di masing-masing wilayah, peta berkesenian di FBS—empat tahun terakhir—cenderung berorientasi pada hasil yang populer dan fantastis. Tiap kegiatan acap kali diukur berdasarkan animo peserta, eksis atau tidaknya acara, mendatangkan keuntungan finansial atau tidak, dan seterusnya. Sementara itu, nilai bebrayan agung yang di era FBS Timur (tahun 2010 ke bawah) dipertahankan secara kultural, dewasa ini mengikis seiring dengan perkembangan zaman Smartphone. Karena itu, diktum kontemporer yang dikenal beberapa dekade terakhir masih relevan untuk hari ini: esensi dikhianati oleh eksistensi![]

Yogyakarta, 27 Mei 2016

[1]Derivasi seni yang hendak dipakai dalam esai ini terbagi menjadi empat dimensi, yakni: seni melalui aksara disebut sastra, seni yang lahir melalui nada dan irama disebut musik, seni berwujud visual—dua maupun tiga dimensi—dikenal sebagai rupa/kriya, dan seni yang diwujudkan melalui gerakan ritmis disebut sebagai koreografi (tari). Pembagian ini tak merujuk pada teori apa pun. Namun, ia didasarkan pada pengamatan subjektif yang bersifat privat.

[2] Dikotomi kutub ini didasarkan pada “apa” dan “bagaimana” keduanya dalam melakukan proses kreatif berkesenian. Kutub pertama dinarasikan oleh Lekra dan Manikebu, sementara kutub kedua ditandai oleh zaman Smartphone 2016. Meski keduanya tak sebanding secara esensi zaman, ia sekadar diposisikan sebagai “penanda” untuk mempermudah penyebutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun