Oleh: Hironimus Galut
Tak dapat dimungkiri kebangkitan populisme yang merupakan fenomena global era kontemporer telah hadir seiring dengan santernya penggunaan media dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Kehadirannya sanggup membius masyarakat melalui intervensi media. Dalamberagam cara yang apik, media muncul serentak menampilkan adanya relasi ketergantungan kuat dengan patronasi politik.
Kehadiran jurnalisme politik juga kemudian berwujud dalam mesin propaganda melalui modus menyampaikan pesan politik kepada ruang publik. Melihat peluang ini politisi atau aktor populis melancarkan berbagai cara yang apik serentak memanfaatkan jasa media untuk menjual maksud gerakan mereka kepada komunitas politik, melalui transformasi bentuk dan isi pemberitaan yang kadang bombastis.
Media dan Usaha Merancang Populisme
Pada dekade 60-an, Ernest Gelnner pernah mewanti-wanti populisme sebagai hantu yang sedang mengancam dunia. Atas dasar pemikiran ini, term populisme itu sendiri pun kemudian menjadi fenomena dengan sejarah panjang dan sulit untuk dirumuskan dalam definisi yang sederahana dan komprehensif. Namun, secara umum populisme dapat dimengerti sebagai suatu paham oposisi biner yang menghadapkan politik "rakyat banyak" dengan politik "elite" yang digambarkan sebagai tamak dan jahat.
Populisme dipandang sebagai konsep yang dipakai untuk menggambarkan sejumlah aksi terorganisir sebagai tanggapan atas persoalan kesenjagan sosial antara elite yang memiliki kekuasaan dan rakyat di luar kekuasaan yang cendrung menjadi korban dari kebijakan politik elite kekuasaan. (Otto Gusti Madung, dalam Matias Daven dan George Kirchberger (ed.) Â 2019:142)
Lebih lanjut Laclau, filsuf post-marxis sebagaimana dikutip M. Alfan Alfian mendefinisikan politik populis sebagai pendekatan politik berbasis massa yang muncul akibat kegagalan fungsional lembaga-lembaga sosial dan politik. (M. Alfan Alfian 2016:56).
Pada titik ini setidaknya ada pemahaman dasar, bahwa populisme adalah sebuah konsep terbuka tentang ragam artikulasi politik yang berusaha merebut, mengartikan dan menghakikat rakyat dalam pertarungan politik. Sedangkan berbicara tentang media dalam pengertian yang lebih umum, bisa dimaknai sebagai segala bentuk saluran yang memungkinkan terkomunikasikannya pesan atau teks dari sender kepada receiver yang memiliki kapasitas untuk berkomunikasi dengan orang banyak dalam sebuah ruang yang sangat varian pada suatu setting sosial tertentu.
Pada tempat pertama perlu diakui bahwa dalam konteks demokrasi, media sesungguhnya memiliki peran yang sangat sentral, termasuk untuk memperkenalkan populisme kepada ruang publik. Namun, tak jarang dalam kerjanya, media justru memiliki tendesi untuk memperjuangkan tujuan politis dari aktor populis yang didominasi oleh kepentingan pribadi untuk mempertahankan kekuasaan dan populaitas pribadi.
Aktor populis memberikan sejumlah jaminan finansial kepada media untuk menlancarkan modus politiknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Melalui jalur ini populisme sering kali hadir untuk memberikan informasi politiknya yang kadang bernada absurd. Populisme menjadi wacana yang minim akan aplikasi konkret.
Aktor populis menjadikan liputan media sebagai sumber daya atau medan pertempuran serentak menjadikannya menjadi objek representasi. Hal ini dipermudah karena pemilik media yang kerap ditemukan sebagai elite-elite bisnis industri (taipan) juga memiliki intimitas relasi dengan para elite pemegang kekuasaan, termasuk politisi yang mengaku diri sebagai tokoh populis. Akibatnya, bisnis mereka itu akan dan selalu terkait dengan kebijakan elite kekuasaan sekaligus melancarkan maksud politik yang diinginkan oleh politisi populis.
Pada titik ini jelas bahwa organisasi media atau jurnalis yang memihak kepada aktor politik sebagian besar  didorong oleh kepentingan ekonomi, tetapi juga bisa menjadi ekspresi dari bias politik asli yang melengkapi fenomena politik arus utama.
Selanjutnya dengan bantuan media, para figur populis lebih peduli pada upaya memperkuat basis kekuasaan dan popularitasnya, daripada membuka dan mengajak perdebatan tentang kebijakan. Melalui intervensi media, aktor populis mengambil jalan pintas untuk melakukan tekanan langsung kepada rakyat dengan siaran yang seolah-olah sedang memperjuangkan kepentingan rakyat umum. Hal ini jelas melahirkan bencana dalam berbagai konstelasi politik saat ini.
Gagasan populisme dimanfaatkan hanya sebatas mencapai kekuasaan politik oleh para aktor populis, bukan lagi diyakini sebagai link untuk menciptakan kesejahteraan dalam berdemokrasi. Ditambah lagi aliansi atas nama rakyat dibangun hanya sebagai bagian dari proses kuasa politik dari sang gur populis. Berhadapan dengan realitas ini, maka sebenarnya kehadiran aktor populis sangat tidak menjawab permasalahan representasi. Karena ketidakmampuan aktor populis dalam mempertemukan banyak kepentingan ini, maka mereka sebenarnya sedang membawa demokrasi menuju fase kemajuan semu atau malah stagnansi.
Mengembalikan Citra Rasa Media
Berhadapan dengan berbagai potret buram media di atas, penulis memproposalkan beberapa rekomendasi yang kiranya berdaya tranformatif mengembalikan citra rasa media dari berbagai pengaruh buruk gerakan populisme. Pertama, media harus mengedepankan sikap kritis dan selektif dalam memberitakan suatu wacana yang berkaitan dengan populisme.Dalam konteks ini media mesti mampu menilai aktor populis yang sungguh-sungguh berkomitmen penuh untuk memperjuangkan keadilan dengan aktor populis yang hanya menggunakan modus media untuk kepentingan pribadi. Wacana populis yang dihadirkan oleh media harus sungguh-sungguh lahir dari pertimbangan yang komprehensif serentak murni berpihak pada kepentingan bersama.
Kedua, kerja media tidak boleh didominasi oleh kepentingan finansial. Hal ini urgen sebab media sebagai ruang bisnis juga sangat menjujung tinggi kepentingan finansial. Tentu saja motivasi ini dinilai wajar dalam konteks bisnis, tetapi akan menjadi miris apabila motivasi finansial itu mengorbankan nasib masyarakat umum yang memiliki kepercayaan yang cukup tinggi terhadap pemberitaan media.
Dengan demikian, media harus mampu mandiri secara finansial. Mandiri yang dimaksudkan di sini adalah media sanggup mengelolah keuangan secara jujur tanpa ada intervensi lebih dari oligark atau aktor populis untuk melancarkan suatu wacana tertentu. Kehadiran media harus termotivasi oleh kepentingan umum, bukan kepentingan bisnis semata-mata yang seringkali cendrung mementingkan keuntungan finansial daripada kerjernihan berita atau wacana. Â
Ketiga, media sebagai pilar demokrasi harus selalu mengedepankan sikap jujur dan transparan serta merealisasikan fungsi kontrol secara bertanggung jawab. Dalam konteks ini, media harus sadar akan keberadaanya sebagai bagian utuh dari demokrasi. Media memiliki otoritas untuk berekspresi secara penuh dalam ruang demokrasi. Namun demikian, dalam ekspresi itu, media harus tetap menjunjung tinggi kejujuran dalam memberi informasi kepada masyarakat.
Kejujuran dan transparansi itu lahir dari kesadaran untuk mengusahakan bonum commune. Rakyat tidak boleh dibodohkan dengan berbagai informasi tentang aktor populis yang tidak kompoten dan cendrung mengedapankan kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat umum. Hal ini sangat mendesak karena rakyat secara umum mengandalkan media sebagai rujukan informasi politik. Apabila hal ini disadari secara penuh, maka dengan sendirinya media bisa diandalkan sebagai wadah yang pantas diandalkan dalam mendewasakan demokrasi yang selama ini dinilai masih labil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H