Mohon tunggu...
Hironimus Galut
Hironimus Galut Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penikmat Kata. Merusak yang terbaik adalah hal yang paling buruk.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki-lelaki Malam

7 Maret 2020   10:13 Diperbarui: 8 Maret 2020   07:14 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: asiaone.com

Luka. Pedih. Hingga akhirnya sesal terus membekas membuat segalanya tak bermakna lagi. Teriakan bisu, jeritan sadis keluar dari rintihan hati terdalam "Sampai kapan? Sampai kapan aku bisa memperbaiki harga diriku yang telah dirusak oleh lelaki-lelaki malam itu. Aku lelah dan ingin mati rasanya mendengar beribu bibir menceritakan dengan rapi rentetan kisah malang ini.

Setiap hari aku terus menyapa diri yang membisu dalam ritme berkisah seakan tak ada arti untuk bekelana kembali di dunia fana ini. Hanya sesal dan jeritan tanpa kata mengisi hati tersobek luka yang tak mampu dibendung dengan seribu senyum dan kerendahan hati. Hari demi hari aku lalui dengan terantuk pada batu sesal yang sama. Hingga pada cela-cela penyesalan itu aku dibawa pada suatu kesadaran akan kebodohan hati ini telah terlanjur jatuh hati pada pemuda munafik yang selalu duduk menyetir mobil itu".

Aku, sang gadis malang dengan nama yang kini hampa akan arti, Melin, terlahir dari keluarga petani yang terus menjerit kesusahan finansial. Kisah cintaku berklimaks tragis serentak menimbun luka yang tak akan sirna. Dua minggu sebelum peristiwa nakal itu, aku bertatap wajah dengan seorang lelaki siang yang tampil alim.

Siang hari tampak terang berkilau biru di tangkai sinar matahari, pada tepi jalan pertokoan terlihat jelas seorang pemuda turun dari pintu depan bus. Ia menoleh kearahku dan serentak berjalan kecil menghampiri aku yang tengah menunggu tumpangan setelah lelah berbelanja hari itu. Tanpa takut dan malu dengan gamblang ia menyapa dan mengajakku berkenalan dalam bahasa daerah yang hampir sama dengan logatku.

Dengan sedikit rasa malu sambil berusaha menyembunyikan kekaguman atas keberaniannya, aku mulai bersapa dan berkenalan singkat dengannya. Hati ini mulai bermain meneguk sejuta rasa bersama realitas yang tak terduga itu. "Lelaki ini, sungguh baik", persepsi awalku.

Setelah sedikit lama berbincang hangat, ia menawarkan jasanya untuk menghantar aku ke rumah. Aku pun memperbolehkan niat baiknya dan mulai berjalan kecil menuju kendaraan beroda empat milik bossnya. Kebetulan situasi kota dingin saat itu mulai sepi kendaraan. Diam-diam aku pun semakin kagum dengan sikap pemuda bernama Racki itu.

Aku mulai terdiam dengan dahi berkerut sambil menunjuk jalan ke rumah. Lagu khas daerah kami sejak tadi bersahut-sahut memecah kesunyian perjalanan tanpa rencana di tengah hari bolong itu. Sapaan gombal mulai keluar dari mulut pemuda berkulit putih itu yang dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan menantang tentang kesingelanku.

Sedikit aku mulai tergesa-gesa lalu kemudian bersahut "aku tidak mau menyibukkan diriku dengan berpacaran". Ia serentak tertawa kecil sambil menoleh ke arahku lalu menghentikan kendaraannya.

Mendengar ujarku, sejurus ia kemudian menggungkapkan perasaannya dalam perjumpaan singkat itu. "Ternyata dia menyukai aku, wanita berparas sederhana ini." Senada aku pun merespon positif perasaannya walau penuh kontras dengan niat awalku. Hari senin itu, aku mulai merajut cinta dengannya. Dalam tenang aku tiba di rumah dengan membawa sejuta senyum karna sopir muda berusia dua puluh tahun itu.

Fajar terus membuka hari di ufuk Timur dan satu hari akan terus berakhir di ufuk Barat. Waktu terus bergulir cepat melahirkan hari-hari indah bagiku. Kisah cinta kami berjalan penuh kewajaran sebagai orang muda. Persepsiku jauh ke depan membayangkan diriku yang masih di bangku kelas dua SMA. Semuanya berkisah baik-baik saja. Namun, tak lama kemudian aku sampai pada kesimpulan ultim tentang masa depanku yang sirna karena pemuda berlagak sukses itu.

Ketika itu, senja sudah ditelan lautan dan cahaya bulan berpendar ke permukaan air gelap, Racki mengajak aku mengunjungi rumah penginapannya. Jauh sebelum ia ingin mengetuk pintu niatku, aku sudah lebar-lebar membukanya dan melangkah pergi bersamanya pada satu malam minggu itu. Kakinya menancap ganas meluncurkan mobil dengan cepat hingga dalam sekejap kami tiba di rumah yang jauh dari keramaian itu. Begitu sok dan kagetnya aku menyaksikan enam pemuda lain sedang asik menikmati minuman keras dengan setengah telajang di rumah sempit itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun