Saya mungkin sama dengan sebagian besar orang Indonesia saat ini, bertanya-tanya apakah sebenarnya harga BBM premium memang harus dinaikkan dan berapa sebenarnya harga yang wajar untuk BBM. Pertanyaan ini semakin muncul lebih keras ketika saya mengisi bensin di salah satu stasiun di tempat saya tinggal, Kuala Lumpur Malaysia yang ternyata harganya lebih rendah daripada di Indonesia.Baru-baru ini pemerintah menaikkah harga BBM yang konon disubsidi dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter. Harga baru itu pun ternyata masih mengandung subsidi sebesar Rp. 1.500 per liter. Apakah ada yang salah ?
Asumsi Makro APBN 2015
Keputusan untuk menaikkan harga BBM subsidi (premium) selalu dikaitkan dengan beratnya beban subsidi yang ditanggung oleh APBN dan alangkah lebih efisiennya jika dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas rakyat. Sangat masuk akal, tapi mari coba kita lihat apakah memang beban subsidi BBM menjadi lebih berat dengan kondisi perekonomian sekarang. Berdasarkan rilis resmi APBN 2015 yang baru disyahkan, dari total Rp. 2.019 trilyun lebih, sekitar 345 trilyun dialokasikan untuk subsidi energi. Subsidi BBM mencakup 80% dari subsidi energi, atau sekitar Rp. 276 trilyun, sisanya adalah subsidi untuk listrik (Sumber : http://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/budget-brief-apbn-2015)
Besaran total biaya subsidi BBM cenderun meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan penggunaan volume yang meningkat dan fluktuasi harga minyak. Tabel di bawah menggambarkan kenaikan subsidi BBM dari tahun 2010 ke tahun 2014 yang meningkat dari Rp 82.4 trilyun ke Rp. 246.5 triyun. Dari data tersebut juga bisa dilihat dengan jelas dampak harga minyak terhadap total biaya subsidi.
Asumsi ekonomi makro dalam APBN 2015 adalah harga minyak mentah sebesar US$ 105 per barrel dan nilai tukar rupiah Rp. 11.900 per 1 USD. Dengan kondisi harga minyak yang turun di bawah US$ 80 per barrel beban subsidi menjadi berkurang karena Indonesia adalah net importer minyak. Tetapi karena kecendurang nilai tukar rupiah yang juga melemah, belanja Negara menjadi meningkat. Berdasarkan sensitivitas RAPBN 2015 terhadap perubahan asumsi dasar makro, setiap penurunan 1 US$ harga minyak, akan ada pengurangan beban pembiayaan sebesar 4 – 4.2 trilyun rupiah. Dengan penurunan harga minyak sekitar US$ 25 di bawah asumsi makro, sebenarnya Negara bisa ‘berhemat’ sebesar sebesar Rp 100 – 105 trilyun selama setahun. Sebaliknya karena rupiah cenderun melemah dan berada di kisaran Rp 12.000 per 1 US$, diperkirakan beban Negara bertambah sebesar Rp. 8 – 9.4 trilyun. Jadi dengan kondisi harga minyak dan nilai tukar sekarang, Negara masih diperkirakan dalam posisi kelebihan pembiayaan sebesar Rp. 96 – 102 triyun dibandingkan asumsi ekonomi makro saat penyusunan APBN. Tentu saja ini dengan anggapan bahwa harga minyak tersebut akan tetap di kisaran US$ 80 per barrel. Tabel di bawah adalah sensitivitas APBN 2015 terhadap perubahan asumsi dasar ekonomi makro :
Jadi apakah masih masuk akal untuk menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi? Mungkin Anda bisa lebih menilainya lebih rasional sekarang. Jika perbandingan APBN 2015, maka kita berada dalam posisinya yang lebih ringan dan harga BBM tidak perlu dinaikkan. Jika ingin mengalokasikan biaya subsidi BBM yang nilainya sekitar Rp 200 trilyun (setelah dikoreksi penurunan harga minyak), ke bidang yang lebih efisien seperti pembangunan jalan dan transportasi massal, juga bukan merupakan ide yang buruk. Hanya saja, bagaimana kita meyakinkan biaya realokasi subsidi itu betul-betul digunakan untuk kepentingan rakyat? Pengalihan subsidi BBM kepada pembangunan fisik dan tangible seperti jalan raya, sekolah dan transportasi massal akan memudahkan pengawasannya bagi masyarakat. Bantuan tunai seperti BLT atau sejenis kartu sehat/pintar akan rawan penyimpangan berujung tidak terasanya pengalihan subsidi BBM itu oleh masyarakat luas.
Asumsi and Tren Harga Minyak
Patokan harga minyak yang digunakan dalam APBN adalah ICP (Indonesian Crude Price).Secara umum, ICP adalah harga rata-rata minyak mentah Indonesia di pasar internasional yang dipakai sebagai indikator perhitungan bagi hasil minyak yang ditetapkan setiap bulan dan dievaluasi setiap semester. Sesuai dengan karakteristik dan kualitasnya, sampai dengan saat ini terdapat 50 jenis minyak mentah Indonesia yang masing-masing mempunyai harga yang berbeda.