Mohon tunggu...
Ronny Dee
Ronny Dee Mohon Tunggu... Full Time Blogger - I'm a teacher, a father and a husband. I love Indonesia

I'm a teacher, a father and a husband. I love Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cegah Kekerasan di Sekolah, Guru Perlu Empati "Online" Plus Literasi Digital

21 Juni 2022   23:20 Diperbarui: 22 Juni 2022   02:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kompas.com/edu

Kemendikbudristek dan Kominfo sepatutnya melakukan ‘jewer’ digital kepada penyelenggara sekolah di negeri ini.  Faktanya kekerasan pada anak di sekolah, ternyata masih terus terjadi dan bahkan sekelas pejabat dinas pun malah melakukan pembenaran untuk konten kekerasan yang dilakukan pelajar (kejadiannya di Makassar di awal tahun ini).

Dirilis oleh media Kompas bahwa ada 3 provinsi yang memerlukan perhatian yang sangat serius karena terekam adanya tingkat kekerasan anak tertinggi di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) membeberkan provinsi dengan jumlah korban kekerasan tertinggi di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hm, ini provinsi dengan penduduk terbanyak dan kemajuan pendidikan seharusnya diimbangi dengan peningkatan karakter atau budi pekerti. Sayangnya tidak demikin.

Penulis mengutip data sebagai berikut yakni untuk di satuan pendidikan, berdasarkan data Simfoni PPA di tahun 2021, mencatat ada 594 kasus pelaporan kekerasan terhadap anak. Kekerasan itu terjadi di sekolah dengan jumlah korban sebanyak 717 anak, terdiri dari anak laki-laki 334 dan anak perempuan 383. 

Di satu sisi dengan zaman yang makin transparan membuat kasus kekerasan itu bisa dengan mudah terekspos di media. Tapi di sisi lain, atas nama pencitraan dan upaya untuk menutupi kasus kekerasan atau korban malah mengalami ancaman membuat kasus itu menjadi tertutupi.

Memang katanya ada penurunan kasus berdasarkan survei di tahun 2021 menurut Prima Dea Pangestu, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak . Tapi tetap saja membuat prihatin karena survei mencatat bahwa 3 dari 10 anak laki-laki dan 4 dari 10 anak perempuan di Indonesia usia 13-17 tahun pernah mengalami satu atau lebih jenis kekerasan sepanjang hidupnya. 

Ini berarti sekolah atau lingkungan tempat dia eksis itu kan sekolah. Malah mereka harus menghadapi kekerasan baik secara emosional atau kekerasan psikis. Bahkan tidak usah terkejut, tindak kekerasan itu, 34,74 persen dilakukan oleh guru dan 27,39 persen dilakukan oleh teman atau pacar. 

Kekerasan itu jangan hanya dianggap dalam bentuk fisik dengan pukulan, cubitan atau jeweran semata. Banyak bentuk-bentuk kekerasan lain yang berdampak menimbulkan penderitaan terhadap anak. Tindakan perundungan secara verbal atau online itu tak kalah kejamnya. Luka fisik bisa hilang tapi kalau sudah luka hati itu nggak ada obatnya atau susah untuk ‘healing’ atau pemulihannya. 

Penulis terkejut karena pelaku terbesarnya justru para pendidik atau guru. Menyedihkan so pasti. Guru atau pendidik bukan menjadi pengayom atau pelindung tapi malah menjadi pelaku perundungan. JIka guru atau pendidik itu tidak ditindak atau hanya diberikan sanksi yang ringan maka perilaku serupa akan terus terulang menjadi lingkaran setan. 

Para murid yang menjadi korban bisa kena mental dan ada efek bandul yaitu di satu sisi dia depresi atau tertekan. Di sisi lain ekstrimnya adalah dia akan membalas dendam di masyarakat. Dengan menjadi korban, kebencian dan amarah itu bisa meledak dan kalau tak tertahankan maka akan berujung pada tabiat yang malah destruktif bagi dirinya dan bagi keluarga serta masyarakat. 

Di tambah lagi kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual malah menjadi jenis kekerasan terbanyak yang terjadi di sekolah yaitu mencapai 36,39 persen. Inilah dosa yang tak bisa ditolerir termasuk dosa-dosa kekerasan lainnya.

Karena itu sangat penting perlindungan kepada anak sejak dini disadar dan ditanamkan oleh para pendidik di sekolah. Para guru atau pendidik harusnya memahami anak secara utuh dan menunjukkan simpati dan empati. 

Pendidikan dengan kekerasan jelas sudah tidak relevan. Masih ada saja anggapan bahwa mendidik itu baru berhasil kalau dengan cara tempo doeloe yakni kudu pakai cara yang keras tapi ujungnya emosional tak terkontrol. 

Memahami dan mengenali generasi digital jelas sangat penting. Isu kesehatan mental sangat rentan menyerang mereka. Dengan pembelajaran online atau daring, guru perlu menunjukkan sikap yang ekstra simpati dan berempati dengan para muridnya. 

Jangan gampang melabel dengan label ‘generasi’ rebahan’ atau hanya ‘main game’ semata. Perlu adanya pemahaman serta mau memanusiakan mereka akan membuat para murid itu akan berelasi dengan gurunya. 

Mendidik adalah bagaimana membuat anak itu bisa mengenali dirinya dan potensinya serta memaksimalkannya. Ketika anak itu tertekan karena kekerasan di lingkungan dan datangnya dari guru atau temannya konsekuensinya potensi atau bakatnya tidak akan berkembang. Ditambah lagi dengan adanya perilaku anak yang bisa jadi mencari perhatian atau ada perilaku khusus yang tidak tertangani membuat anak itu potensi untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan.

Kekerasan yang terjadi di sekolah jangan dibiarkan atau ditutup-tutupi. Sekolah yang bijak akan mencari solusi. Solutif menghadapinya adalah dengan  bersinergi dan berkolaborasi baik kepala sekolah, guru, tenaga pendidik, orang tua, dan peserta didik untuk menciptakan suasana kondusif bagi para nara didik tersebut.

Salah satu strategi yang bisa dipakai adalah menerapkan literasi yang menghadirkan harmoni dan damai serta melawan kekerasan di lingkungan sekolah. Di era Merdeka Belajar ini peserta didik harus ditanamkan toleransi sejak dini. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dna khusunya para guru harus menjadi teladan yang baik. Tidak hanya sekedar cuap-cuap atau berkoar tapi mempraktikannya. Niscaya dengan kesadaran bersama dan saling mendukung akan menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun