Kondisi diatas sangat berbeda sekali saat sekarang. Saat ini daerah paling dalam Danau Limboto hanya mencapai 1,9 meter. Luas perairannya pun hanya tersisa 1.980 ha. Aktivitas masyarakat disekitar danau telah membuat proses sendimentasi semakin parah. Pengundulan hutan disekitarnya juga menambah beban danau yang indah ini.
Enceng Gondok, yang merupakan masalah utama di hampir semua danau di Indonesia, turut menyumbang parahnya pedangkalan danau yang juga menjadi sumber mata air
Dambuhi, 40 tahun, seorang nelayan yang sejak kecil menjadikan danau ini sebagai sumber penghasilan keluarganya menuturkan, "menurut cerita orang tua, eceng gondok ini berasal dari ikan yang dibawah dari pulau Jawa, Ikan-ikan itu telah menelan bibit eceng gondok, dan pada akhirnya bibit itu keluar dari perut ikan dan tumbuh memenuhi hampir seluruh danau." Kini sejauh mata memandang, sejauh itu pula hamparan eceng gondok terlihat.
Letak Danau Limboto berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone Bolango, berada di ketinggian 4,5 meter dpl, menjadi muara bagi 23 anak sungai yang ada di sekitarnya, menjadikan Danau Limboto menanggung beban yang sangat berat. Terlebih lagi dengan aktivitas kehidupan masyarakat disekitarnya yang seakan tidak peduli dengan hilangnya bagian danau yang justru merupakan sumber penghidupan bagi ekosistem di sekitar danau.
Kini kondisi Danau Limboto semakin memprihatinkan. Jika tidak ada penanganan yang serius terhadap pedangkalannya, tidak mustahil danau yang indah ini akan lenyap dalam beberapa tahun kedepan.
Danau Limboto sedang mengalami proses eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa.
Salah satu yang memberikan kontribusi terhadap semakin hilangnya area Danau Limboto adalah aktivitas nelayan dengan jaring apung yang menyebar di hampir semua bagian danau. Sekali lagi menurut Dumbuhi (40) salah seorang pemilik jaring apung, "hampir setiap tahun kami mengganti bambu yang menjadi tiang penyangga jaring, tetapi setiap kali itu pula, bambu-bambu itu hanya di tenggelamkan di dasar danau, tidak diangkut ke daratan sebagai sampah." Terdapat ratusan nelayan yang mengantungkan mata pencahariannya dengan menebar jaring apung.
Kesadaran pemerintah bersama masyarakat untuk segera menyelematkan danau yang indah ini dari kepunahan sangat diperlukan. Agar bagian dari sejarah daerah Gorontalo di danau ini, tidak hanya menjadi kenangan pada sebuah daratan tanpa air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H