Mohon tunggu...
Ronny Adolof Buol
Ronny Adolof Buol Mohon Tunggu... Fotografer -

Suka membaca dan hobby motret.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka Bilang Memotret Itu Seperti Memasak

31 Agustus 2011   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya memasak menu “Landscape di Danau Limboto” Memotret itu adalah seni, layaknya kegiatan memasak. Urusan dapur yang satu itu, bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi jika tidak dilakukan dengan “seni” maka sajian menunya biasa-biasa saja. Sebuah menu tradisional akan terasa sangat istimewa ketika diolah dan diberi improvisasi yang kreatif oleh seorang master chef. Begitupula fotografi. Siapa saja bisa memotret, apalagi dengan kemajuan bidang fotografi saat sekarang, handset paling murah pun sudah dilengkapi dengan camera. Tetapi untuk menghasilkan foto yang “tidak biasa” diperlukan seni mengolahnya. Layaknya memasak, kita harus mempersiapkan segala sesuatun agar sajian kita terasa “gurih dan garing.” Kali ini saya berkesempatan mengunjungi Gorontalo, provinsi yang memisahkan diri dari Sulawesi Utara ini punya bentangan lansekap yang indah. Gorontalo yang sebagian besar daerahnya merupakan dataran rendah menyimpan begitu banyak spot pemotretan. Hamparan luas persawahan yang rata merupakan satu pemandangan yang sangat menarik. Tapi kali ini saya bertandang ke Danau Limboto. Danau yang telah mengalami eutrofikasi yang parah itu, sementara menunggu ajalnya sendiri. Lebih dari separuh luas Danau Limboto yang  pada tahun 1932 mencapai 7000 ha itu, telah mengalami pendangkalan. Menurut penelitian terakhir pada 2010, luas Danau Limboto kini tinggal 1.850 ha dengan kedalaman 1,9 meter. Padahal dulu kedalamannya bisa mencapai 30 meter. Bahkan tempat saya “memasak” dulunya merupakan bagian danau yang dalam. Okay, mengenai kondisi Danau Limboto nanti saya bahas pada tulisan lainnya. Ayo sekarang bahas acara “memasaknya”. 1. Bahan dan Bumbu-bumbunya Hal yang pertama kita lakukan dalam memasak, ya jelas menyediakan bahan dan bumbu-bumbunya. Kali ini bahannya adalah Danau. Berarti bumbu-bumbunya kita harus ambil dari kategori landscape. Bumbu dalam fotografi bisa

disamakan dengan “kaidah-kaidah dasar fotografi”. Apalagi kalau bukan soal speed, diagframa, iso dan komposisi, serta parameter-parameter lainnya?. Ya, mereka-mereka itu bumbunya. Karena saya akan memotret landscape, berarti harus mengabaikan bukaan lebar (angka F kecil). Sebaiknya memakai diagframa sempit, yang bisa dimulai dari F11. Dan sedapat mungkin menyetel pada bukaan F paling kecil, agar bisa mendapat hiperfocal yang maksimal. Dengan F sempit, saya bisa mendapatkan detil yang bagus. Terutama jika langit bertekstur dengan hiasan awannya. Dengan mengejar bukaan, berarti untuk bumbu speed saya sesuaikan saja. Pilihan terbaik ada pada AV Mode, agar speed didapat yang cocok, nanti exposurenya dikompensasi sesuai kondisi cahaya yang tersedia. Masalah ISO, pilihan terbaik ada pada ISO paling rendah, agar kualitas foto tidak ber-noise. Kecuali jika tiba-tiba saja, awan menutupi langit. Jelas untuk menjaga F tetap pada bukaan sempit, mau tidak mau saya harus meracik bumbu ISO ke level stop diatasnya, agar speed tidak terlalu jauh terkompensasi turun. Untuk WB, saya cari aman saja, Auto WB. Dan memotret dalam mode RAW, agar bisa dikoreksi kemudian. Tetapi karena kali ini saya berencana, untuk menangkap sunset moment, saya juga telah menyetel Kelvin WB pada suhu 6300, biar dapat warm tone sebentar. Saya memakai camera Canon, dan salah satu parameternya yang tersedia adalah Picture Style. Saya menjatuhkan pilihan pada Picture Style bawaan Canon, “Landscape”. Dengan sedikit mengoreksi Saturasi dan Sharpen yang saya naikkan 1 level, Contrast juga demikian, dan Colour Tone saya pertahankan pada setelan default. Untuk metering, jelas bumbu paling pasnya adalah memakai evaluative, agar camera bisa mengukur banyak titik untuk mendapatkan hasil metering yang paling sesuai. Soal komposisi, sepertinya kalau landscape sedapat mungkin berpedoman pada "The Rule of  Third”, walau kadangkala kita menabrak kaidah itu untuk menghasilkan komposisi yang tidak biasa. Okay, saatnya menyediakan peralatan. 2. Peralatan
_MG_6502
_MG_6502
Kali ini saya memakai Canon 1000D sebagai peralatan masaknya.  Cemera low entry dari merk Canon ini sekarang sudah ada penerusnya, seri 1100D yang sudah dilengkapi dengan video recording. Saya belum punya lensa yang super wide, jadi hanya mengandalkan lensa kits, yang punya rentang focal 18-55mm. Karena saya akan memotret lansekap, yang paling enak disajikan dalam mode wide, berarti saya akan memaksimalkan focal lenghtnya pada 18mm. (Kapan ya bisa punya 10-22mm?, hehehe) Saya menyertakan sebuah CPL filter, agar bisa lebih memekatkan warna langit menjadi biru dan meningkatkan saturasi warna. Juga ikut UV filter yang sudah melekat di mulut lensa. Tak lupa GND filter untuk bisa mengatasi perbedaan kontras yang tinggi. Tripod, sebenarnya merupakan syarat mutlak. Tetapi karena saya tidak membawa Tripod besar dari Manado, terpaksa saya hanya memakai tripod pendek dan kecil untuk low angel, selebihnya mengandalkan feature IS pada lensa dan kestabilan tangan serta speed tinggi. Jangan lupa mengosongkan memori card, agar bisa menampung gambar lebih banyak. Dan tinggalkan saja flash gun karena jelas tidak dibutuhkan. Lagi pula saya jalan sendiri, tidak bersama model, hehehe… 3. Meramu Bumbu sudah siap, peralatan juga sudah ready. Ya, waktunya sekarang memasak. Ditemani teman baik, Roy Panigoro, saya menuju lokasi memasak. Kali ini, saya dibawanya melalui tepian danau di Kecamatan Telaga. Berkendara dengan sepeda motor, kami bisa tiba ke danau sekitar 30 menit dan memarkir motor di atas tanah yang kering dan pecah-pecah yang dulunya merupakan bagian danau yang dalam.
_MG_6458
_MG_6458
Begitu tiba di lokasi, saya berdecak kagum dengan pemandangan yang tersaji. Lalu mengambil waktu mengamati sekeliling dan mencari posisi yang pas untuk memotret. Setelah sekitar 30 menit mengamati, saya mengeluarkan peralatan. Menyetel sesuai dengan bumbu yang ada, dan mulailah saya memasak dengan segala pengetahuan fotografi yang saya miliki sejauh ini. Menggeser tombol mode camera ke AV, dan menghajar bukaan pada muali dari F18 ke F22, speed dengan sendirinya menyesuaikan dari metering evaluative yang saya pilih. ISO saya coba setel ke angka 100, picture style seperti pada bumbu sebelumnya, serta WB pada Auto. Berusaha taat pada aturan “The Rule of  Third” untuk mendapatkan komposisi. Tetapi kadangkala saya harus tiarap diatas tanah untuk memperoleh komposisi yang saya inginkan. Hari itu, langit tidak terlalu bersahabat. Awan terlalu banyak dan tidak membentuk pola yang indah. Biru langit yang semestinya dikejar pada foto lansekap, kali ini malas keluar. Alhasil, saya kadangkala mengeser WB ke setelan cloud, dengan ikut mengkompensasi kembali saturasi dan sharpen. Demikian pula, saya jadi sering mengkompensasi exposure pada under 1/3-1 stop atau 1/3 stop ke over, karena awan cepat sekali berubah. Angin juga bertiup lumayan kencang, sebagaimana karakteristik dataran rendah, sehingga saya sulit mengambil spot air yang tenang. Saya nanti mendapat beberapa frame dengan air yang tenang dengan refleksinya yang indah, ketika 30 menit setelah sunset. Memasak kali ini betul-betul saya nikmati. Tanpa terasa kaki saya sudah terbenam dalam lumpur hingga ke lutut.  Dan menghabiskan 4 jam dengan shutter yang tertekan terus dan terpapar terik. Kulit sayapun sedikit menjadi gelap.
:)
:)
Memasak memang terasa mengasyikkan jika dilakukan dengan perasaan gembira, demikian pula memotret. 4. Penyajian
GPI-1
GPI-1
Saya menghentikan shutter ketika teman saya sudah menyalahkan lampu motornya. Hari sudah mulai gelap. Pukul 18.45. Saya masih ingin melakukan beberapa teknik slow speed. Tetapi, saya juga harus menghargai teman, karena dia tadi telah bersedia berbuka puasa hanya dengan air mineral, sekarang giliran saya harus memberi dia waktu mempersiapkan diri untuk sholat taraweh. Kembali ke rumahnya, saya menyalin semua hasil ramuan tadi ke hardisk. Memilah untuk menyajikannya. Dan untuk menghiasi masakan tadi, pilihan jatuh pada Photoshop. Karena laptop yang saya bawa hanya bertenaga Intel Atom, ya cukuplah dengan versi Photoshop CS. Saya mengoreksi beberapa parameter hasil ramuan. Andai saya sudah punya camera seri professional dan lensa seri L ya…., langkah terakhir ini tidak perlu lagi saya lakukan. Hahahaha… maksimalkan saja apa yang ada. Demikianlah hasil kegiatan memasak saya kali ini, dengan hasil yang cukup memuaskan, setidaknya untuk ukuran saya. Tangan jadi gatal kembali untuk memasak dengan menu yang berbeda. Beberapa hasil fotonya dapa dilihat di: http://on.fb.me/pGPJBQ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun