Mohon tunggu...
RONY SINAGULA
RONY SINAGULA Mohon Tunggu... -

mahasiswa sekolah tinggi filsafat Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Aku Menulis tentangmu

26 Februari 2011   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:15 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku terbangun dari tidur ketika mendengar pengakuan dari pagi yang dituturkan melalui mimpiku.

“Mana mungkin aku bermimpi?”

“Bukankah aku telah terbangun sebelum kalimat tersebut dituturkan?”

Lantas siapakah yang mengucapkannya? Aku kebingungan ketika berhadapan dengan kasus semacam ini. Baru kali ini aku mengalaminya. Apakah kejadian tadi berhubungan dengan cerita yang sedang kutuliskan? Daripada memikirkan Sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, lebih baik aku mulai menulis lagi menengenai kisah di atas. Tetapi sebelumnya aku membuat sebuah kesimpulan bahwa kejadian tadi hanyalah mimpi.

Aku menghidupkan laptop, meng-klik beberapa musik instrumen yang akan mengiringi kegiatan menulisku. Kemudian membuka file cerita Lelaki Tua Dengan Kail Dan Cangkul, namun tidak segera memulainya. Aku menghidupkan dispenser untuk dapat memanaskan air agar dapat digunakan dalam proses penyajian kopi. Setelah berhasil menyeduh segelas kopi maka aku mulai menulis cerita, tentu sambil merokok dan minum kopi. Aku membaca ulang kelima paragraph yang terpampang di monitor untuk memancing ide-ide selanjutnya. Hampir tujuh kali aku membaca kelima paragraph ini, tetapi ide belum juga muncul. Biasanya aku dengan cepat menemukan kelanjutannya. Mengapa kisah ini sangat sulit? Sungguh sebuah ketersiksaan yang berat. Sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku sehingga ide begitu sulit menampakan wujudnya?

Kemanakah perginya ide-ide? Aku merindukan kehadiran kalian dalam nalar meskipun hanya sesaat.

“Tolong tunjukan rupa kalian”

“Apakah aku harus menangis bagi kalian? Jika kalian menghendakinya maka aku akan mengucurkan air mata. Aku tidak menunjukan kepura-puraan dalam mengucurkan air mata. Aku sangat tersiksa dengan kepergian kalian. Bukankah selama ini kalian begitu setia menghuni nalarku. Apakah aku kurang memenuhi kebutuhan kalian? Bukankah malam tadi kalian berlomba-lomba dalam memenuhi setiap ruang dalam nalarku?” Disini kutemukan diriku seperti wanita dalam lagu whisky lullaby yang bersetubuh dengan lelaki lain, dan disaksikan oleh suaminya yang pulang dari medan perang. Apakah engkau juga seperti suami dari wanita tersebut, yang meninggalkan istrinya karena merasa dikhianati kemudian menghabiskan sisa hidupnya dengan meneguk berbotol-botol whisky? Jika engkau berkelakuan demikian maka aku jug akan mengikuti kelakuan dari istrinya. Sebab kehidupan tidak lagi memiliki makna dan arti.

Aku sangat marah dengan keadaan dan mulai mengatai-ngatai ceritaku. Bukan hanya itu; aku menghapus kelima paragraph yang telah tertulis. Baru kali ini aku tersiksa dengan cerita yang kutuliskan. Benarkah; terkadang sebuah cerita yang dituliskan memiliki kehidupanya dan bernyawa? Ah…itu hanyalah mitologi yang muncul ketika seorang penulis menemukan jalan buntu. Bisa juga cerita itu muncul karena seorang penulis telah merasakan kesatuan dengan cerita yang ditulisnya. Aku tidak tahu, dimana posisiku berada. Ceritaku(ide); engkau harus mengetahui bahwa menjalani kehidupan di dunia dengan sebuah komunikasi. Kehidupan disini tidak seperti di duniamu yang mungkin saja menganut paham monologisme. Engkau juga harus mengetahui bahwa aku telah merelakan diri untuk menerima kehadiranmu, tidak semua orang di dunia ini yang merelakan dirinya untuk menampung keberadaanmu. Bagiku; engkau sangat mirip dengan sistem kediktatoran yang diterapkan pada zaman orde baru. Dimana setiap masyarakat yang tidak menghargai kepala negara dan melanggar peraturannya akan dijebloskan ke dalam penjara. Daripada menghabiskan waktu dengan mengumpat ceritaku lebih baik kumatikan saja laptop dan menyiapkan diri untuk berangkat ke kampus.

Tidak ada satupun topic perkuliahan yang mampu dicerna oleh pikiran, meskipun berusaha untuk berkonsentrasi dan menjauhkan pemikiran terhadap topic ceritaku. Jika pikiran telah berpasrah maka nurani pun tidak dapat berbuat banyak. keseharianku tidak lagi seperti sebelumnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun