Catatan Pinggir Agak Tengah :
GAGAK
Jadi gini.
Cuma cerita kenapa saya menyukai hewan anjing.
Iya, karena keluarga kami pernah sekali punya anjing dan bagiku dia satu satunya hewan piaraan kami yg paling berkesan.
Seekor anjing lokal berwarna hitam pekat, yang kami kasih nama : Gagak.
Hitam dan gagah. Sungguh. Mirip gambar ini.
Saat itu awal 90an.
Era dimana ajaran Islam (menurutku) belum 'seketat' sekarang.
Era dimana ga ada debat ngucapin Natal haram atau enggak.
Era dimana mbah mbah sepuh nongkrong di mushola selepas maghrib sambil ngerokok tanpa ribut rokok itu boleh, mubah, atau haram.
Era dimana ga ada satupun isu terorisme apalagi bom bunuh diri.
Era dimana ga ada kelompok2 radikal islam, karena Islam ya Islam saja, yang ada hanya organisasi NU dan Muhammadiyah, yang sejak jaman mbah buyut ga pernah sekalipun mereka ribut.
Gak pernah.
Dan era dimana, banyak keluarga muslim taat, tapi miara anjing. Ya biasa aja.
Yang penting ga nginjak2 ruang sholat dan pas mau sholat ya bersuci.
Iya
Balik lagi.
Seperti anjing lainnya, Gagak ini loyal luar biasa.
Galak ke orang yg ga dikenal, tapi dengan majikannya dia nurut, diem, dengan muka nunduk sambil mengibas-ngibaskan ekornya.
Lucu banget.
Kalo dimandiin dia marah. Matanya merah kena air.
Tapi disuruh gigit tangan Bapak, dia ga berani.
Hihihi.
Kalo Bapak pergi kantor naik motor, sering harus ngusir dulu karena Gagak suka ngikutin dari belakang.
Pernah satu saat Bapak uda sampe kantor kaget bukan kepalang karena ternyata Gagak uda berdiri di belakangnya padahal jarak rumah ke kantor jauh dan lewat jalan raya.
Terang saja Bapak langsung pulang dulu nganter Gagak ke rumah.
.
.
Hhh...
.
.
.
Tapi nasib berkata lain.
Aku inget saat itu akhir tahun.
Beberapa pemuda dari kampung bawah, yg terkenal suka mabuk dan makan rica-rica anjing, tiba tiba berniat mau membeli Gagak dengan menawarkan sejumlah uang.
Bapak jelas jelas menolak.
Anjing ini ga akan dijual.
.
.
Dan
Keesokan paginya, Gagak ga pernah terlihat lagi.
Kami mencarinya ke tempat dia biasa duduk tapi ga ada.
Iya
Gagak kami hilang.
.
.
.
Selang beberapa bulan, seorang tetangga akhirnya baru berani bilang, kalo pas malam itu dia melihat beberapa pemuda dari kampung bawah membawa paksa Gagak.
Malam tahun baru, mungkin mereka ingin mabuk, sambil makan rica anjing, yang katanya, kalo warnanya hitam jauh lebih enak.
Sungguh bangsat batinku.
.
.
.
Dari Gagak aku belajar loyalitas kepada orang yg kita cintai dan mencintai kita.
Dan dari pemuda tadi aku belajar bahwa kadang manusia jauh lebih binatang daripada binatang itu sendiri.
.
.
.
Selamat jalan Gagak.
Til we meet again.
Someday.
Somewhere.
.
.
.
-ditulis dengan sembab, 8 Sept 16 23.18, Abu Toxid-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H