Anak saya yang nomor dua itu, seorang perempuan, adalah seorang melankolis sejati. Umurnya baru 8 tahun, sekarang duduk di kelas 2 di sebuah Sekolah Dasar Islam di kota kami. Dia seorang yang emosional, penyabar, dan, seperti juga ayahnya, menyukai membaca, karena itu sudah mulai nampak kecerdasannya.
Dia kadang - kadang suka beropini atau berpendapat dengan kalimat atau diksi yang semestinya belum muncul pada anak - anak seusianya, yang membuat saya dan istri saya terkejut, dan kadang bertanya, "Dari mana kamu dapat kata - kata ini, nak?"
Sekarang dia sudah pula mencoba menggambar komik sederhana, hasil dari pembacaannya terhadap beberapa komik yang tersedia di rumah kami. Dan dia memang punya hobi menggambar. Hasil apa yang digambarnya, lumayan bagus untuk anak - anak seumurnya. Jika ada lomba menggambar di sekolahnya, dia akan ikut serta.
Tapi yang menarik baru - baru ini adalah, bahwa dia mencoba menggungkapkan perasaannya melalui sehelai surat, dua buah surat. Kedua surat itu dia beri judul, "Surat Cinta untuk Ayah."
Surat - surat itu dilengkapi dengan gambar - gambar, juga warna - warni, yang menggambarkan perasaannya. Dan tentu saja, tulisannya dalam surat itu, khas tulisan anak sekolah dasar yang baru saja belajar menulis.
Saya tidak begitu peduli dengan tulisannya dalam surat - surat itu, yang memang belum simetris menurut saya. Yang saya perhatikan adalah kalimat - kalimat yang disusunnya. Kata - kata yang dipilihnya. Dan, tentu saja, isi pikiran dan maksud yang ingin disampaikannya dalam surat itu. Surat - surat itu berhasil menggambil atensi saya beberapa saat.Â
Saya memang beberapa hari ini terlibat dalam kegiatan di luar rumah, yang memang mesti saya lakukan, bersama beberapa kawan di komunitas pengajian. Sebuah kegiatan bersama dalam rangka mempererat hubungan persahatan dan pertemanan. Juga dalam rangka menguatkan iman dan menambah wawasan.
Beberapa hari sebelum itu, saya juga harus berangkat ke kampung halaman untuk suatu urusan keluarga besar saya di kampung, yang mesti juga harus saya lakukan. Di kampung kami, ada tradisi berdoa kembali untuk seseorang yang sudah meninggal pada hari yang ke seratus kematiannya.
Sebagai sebuah ikhtiar agar amal shaleh orang yang sudah meninggal diterima Allah. Agar semua kesalahan dan dosa - dosanya diampuni-Nya. Agar keluarga yang ditinggalkan, orang - orang di sekitar yang meninggal itu, ikhlas menerima keadaan, semua diserahkan kepada takdir dan ketentuan Tuhan yang Maha Menghidupkan dan yang Maha Mematikan.
Dan yang meninggal itu adalah istri dari abang kandung saya. Bagaimana mungkin saya absen untuk tidak menghadirinya?