Mohon tunggu...
Roni Patihan
Roni Patihan Mohon Tunggu... Guru - Alumni LIPIA Jakarta, pimpinan Insan Cendekia Boarding School (ICBS) Payakumbuh, Sumatera Barat

Menyukai membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Pengorbanan Hatta untuk Indonesia Merdeka

18 Agustus 2023   23:22 Diperbarui: 22 September 2023   21:45 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali tidak ada yang tidak mengenal sosok Bung Hatta, sang proklomator kemerdekaan Republik Indonesia, yang juga merupakan Wakil Presiden RI yang pertama. Dia yang bersama Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah bangsa Indonesia berjuang ratusan tahun lamanya, persis di halaman rumah Soekarno di gedung Pegangsaan Timur Jakarta, 17 Agustus 1945.

Namanya diabadikan di beberapa ruas jalan di Sumatera Barat, Jakarta dan kota - kota lainnya, bahkan ada sebuah jalan di negeri Belanda tertulis dengan namanya. Istana kepresidenan di Bukittinggi diberi nama dengan namanya, karena pernah Hatta sebagai wakil presiden RI berkantor di sana. Sebuah perpustakaan besar dan megah, terletak bersebelehan dengan kantor walikota Bukittinggi diberi nama dengan namanya.

Mengenal Bung Hatta

Hanya ada 10 menara jam besar di dunia, salah satunya, adalah sebuah menara jam yang berdiri kokoh hingga kini di jantung kota Bukittinggi bernama Jam Gadang (Jam Besar), dimana konon mesinnya hanya ada dua di dunia, satunya lagi ada di menara jam Big Ben kota London, Inggris.

Kota Bukittinggi berhawa sejuk, pemandangannya cantik memanjakan mata. Jika cuaca sedang terang tak berawan, dari halaman Jam Gadang itu, anda dapat melihat dengan jelas Gunung Merapi dan Gunung Singgalang persis di hadapannya. Di tengahnya ada Ngarai Sianok yang membelah kota itu dengan sebuah sungai kecil di dasarnya.

Di kota inilah Hatta dilahirkan, tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1902. Ayahnya bernama Syaikh Mohammad Djamil, seorang ulama yang lahir, meninggal dan dikuburkan di Batu Hampar, sebuah negeri yang berjarak 20-an KM dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh. Namun Hatta tak pernah tahu wajah ayahnya, sebab ayahnya meninggal manakala Hatta masih berusia tujuh bulan. Ranji keluarga Hatta menunjukkan bahwa kakeknya adalah seorang ulama besar Minang Kabau bernama Syaikh Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Syaikh Batu Hampar.

Tapi Hatta tidak pernah belajar kepada kakeknya, itu karena rumahnya di Bukittinggi berjarak puluhan kilo meter dari Batu Hampar. Guru mengaji Hatta justru adalah seorang  tokoh pembaru Islam Minang Kabau, teman belajarnya Syaikh Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Makkah Al Mukarramah, Syaikh Mohammad Djamil Djambek, yang suraunya terletak beberapa langkah saja dari rumah Hatta. Hatta belajar agama di surau itu selepas belajar di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar zaman kolonial Belanda.

Pendidikan formal Hatta berlanjut di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di kota Padang. Pun juga pendidikan agamanya. Di Padang, Hatta belajar kepada Haji Abdullah Ahmad, juga seorang ulama pembaharu Minang Kabau, teman belajarnya Syaikh M. Djamil Djambek di Masjidil Haram.

Pendidikan agama yang mapan inilah nanti yang akan banyak mempengaruhi sikap dan pemikiran Hatta, saat ia belajar di negeri Belanda, memimpin pergerakan dan menjadi wakil presiden Indonesia yang pertama.

Hatta merantau ke Batavia setamat dari MULO dan tinggal di rumah Mak Eteknya (saudara laki - laki ibunya yang paling kecil), Mak Etek Ayub, seorang saudagar besar yang hidup sederhana. Mak Etek Ayub inilah yang membiayai pendidikan Hatta di Prins Hendrik School (PHS) hingga tamat. Dia juga yang mengenalkan Hatta pada buku - buku dan ilmu pengetahuan. Di rumahnya yang besar di Tanah Abang, Mak Eteknya memberinya dua kamar sekaligus; satu kamar tidur, satu lagi kamar khusus untuk belajar. Melihat ketekunan dan kecerdasan Hatta dalam belajar, Mak Etek Ayub berjanji akan menyekolahkan Hatta sampai ke Rotterdam Belanda.

Hatta tetap berangkat ke Rotterdam setelah tamat dari PHS untuk melanjutkan pendidikannya di bidang ekonomi, tapi Mak Eteknya sedang dalam kondisi tidak baik - baik saja, pailit dan dalam penjara karena perkara dagang, yang membuatnya tak bisa memenuhi janjinya kepada kemenakan kesayangannya itu.

Nanti 11 tahun kemudian, setelah Hatta menamatkan kuliahnya di Belanda, Mak Etek Ayub inilah, sekali lagi, tempatnya bersandar dan berkeluh kesah. Mana kala orang - orang menjauhi Hatta, di awal -- awal kepulangan Hatta dari Belanda, karena takut dipenjara Belanda, Mak Eteknyalah penyelamatnya. Dia malah menawarkan Hatta posisi penting di perusahaan miliknya. Hatta menolak, dan memilih terjun ke dunia pergerakan dengan segala resikonya, yang terus ditekuninya sampai Indonesia merdeka.

Seorang Penulis Hebat 

Hatta dikenali sebagai tokoh bangsa yang pendiam, namun cerdas. Itu karena Hatta sangat gemar membaca. Ketika ia diasingkan ke Boven Digul Papua, yang sering disebut Siberianya Hindia Belanda, ia membawa serta 16 peti buku bersamanya. Dari ujung Indonesia itu, dari tempat pembuangan yang terpencil, tulisan - tulisannya tetap mengalir deras sampai ke Batavia bahkan ke Deen Hag, negeri Belanda. Dalam sebuah artikel yang ia tulis di dalam penjara, Hatta pernah berujar, "Selama saya memiliki buku, saya dapat tinggal di mana saja..."

Bahkan Sjahrir  pun, yang sama - sama berasal dari Minang Kabau, dan juga sama - sama  kuliah di negeri Belanda, melabeli Hatta sebagai sosok yang sombong. Itu karena ketika mereka berdua dibuang dan ditawan Belanda di Banda Neira Maluku, Hatta bisa menghabiskan berjam - jam lamanya untuk membaca buku, dan tidak bisa diganggu.

Hatta barangkali bisa dikatakan satu - satunya Bapak Bangsa yang paling banyak menulis, baik dalam bentuk artikel maupun buku. Tulisan pertamanya dalam bentuk cerpen dibuat pada saat umurnya masih 17 tahun dan belum lagi mengecam bangku kuliah. Judul tulisan itu "Namaku Hindania" yang dimuat majalah Jong Sumatera edisi kelima tahun 1920, dengan nama samaran "MH". 

Tulisan itu berkisah tentang tokoh khayali (fiksi) bernama Hindania yang merupakan seorang janda cantik lagi kaya raya, yang terbuai bujuk rayu untuk menikah dengan seorang musafir dari Magrib bernama Wollandia, yang digambarkan dalam tulisannya itu dengan ungkapan, "sangat miskin dan melarat, dan anak-anaknya pun bertangisan."

Seperti yang dengan mudah dapat ditebak, Hindania adalah personifikasi dari Indonesia, Wollandia adalah negara penjajah Belanda.

Andai Hatta seorang cerpenis melankolis, tulisan itu akan penuh dengan nuansa percintaan, rindu dan dendam. Tapi Hatta adalah seorang pejuang, seorang nasionalis sejati yang mencintai negaranya melebihi apapun. Yang hatinya perih dan terluka melihat penindasan dan penjajahan di negerinya, berabad - abad lamanya.

Hatta memang tidak sehebat Soekarno dalam berpidato, yang bisa menghipnotis ribuan massa dengan kata - katanya. Pidato Hatta cenderung membosankan untuk didengar. Dia dianggap tokoh yang dingin, jarang tersenyum dan berkacamata tebal. Tapi kekuatan Hatta tidak terletak di situ, kekuatan Hatta sebenarnya ada pada ketajaman penanya.

Hatta tidak hanya fasih berbahasa Belanda, ia juga lancar berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, Jerman dan Prancis, yang membuat tulisan dan gagasannya tersebar luas hingga ke masyarakat internasional.

Ketika Hatta kuliah di Belanda, kerajinannya menulis tak pernah padam. Hatta menulis dua tulisan dalam bahasa Belanda yang sangat baik pada edisi perdana majalah Indonesia Merdeka, yang sebelumnya bernama majalah Hindia Poetra. Kelak, Hatta mengenang masa - masa itu dengan ungkapan betapa "para Profesor Leiden meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda Indonesia."

Hatta pernah masuk penjara Rotterdam, salah satu sebabnya, gara - gara tulisannya yang banyak mengkritik pemerintah kolonial Belanda.

Akan tetapi tulisan Hatta yang paling dikenal sejarah kemudian adalah sebuah naskah pidato yang berjudul "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka). Itu adalah pidato pembelaan Hatta yang ditulisnya di sebuah ruang penjara sempit, yang dibacakannya di hadapan pengadilan tiga setengah jam lamanya.

Pidato itu menjadi salah satu manifesto politik Indonesia yang paling monumental, karena dibacakan persis di ulu hati kekuasaan kolonial Belanda, dan langsung menikamnya dengan sangat keras. Pidato itu jugalah yang melambungkan nama Hatta dan membuatnya terlibat langsung dalam dunia politik untuk kemerdekaan Indonesia bersama dengan tokoh - tokoh bangsa yang lain.

Pengorbanan Hatta untuk Indonesia

Barangkali memang sudah ditakdirkan, Hatta akan menjadi tokoh bangsa yang mengabdikan hidupnya untuk Indonesia, yang karena perjuangannya ia akan ditangkap Belanda sekali lagi dan terus terjadi beberapa kali lagi sesudah itu.

Setelah meraih gelar sarjana dalam bidang ilmu perdagangan dan bisnis di Nederland Handelshogeschool atau Rotterdam School of Commerce, yang kini menjadi Erasmus Universiteit di tahun 1932, Hatta pulang ke Indonesia. Namun naas, dua tahun kemudian ia ditangkap Belanda dan diasingkan Ke Boven Digul (sebuah penjara alam yang dibuat tergesa - gesa oleh pemerintah kolonial Belanda, terletak dekat  kota Merauke Papua), bersama Sutan Sjahrir  selama satu tahun,  untuk diasingkan lagi ke Banda Neira, sebuah negeri yang indah di Maluku, selama enam tahun lamanya.

Tapi yang terkenal dari seorang Hatta adalah sumpahnya yang kemudian benar - benar diwujudkannya, bahwa ia tidak akan menikah kecuali setelah Indonesia merdeka. Lihatlah tekad perjuangan Hatta dari sumpah itu. Ini sumpah yang sangat langka. Para pejuang kemerdekaan jelas mencintai negaranya, bersedia berjuang untuknya, rela berkorban deminya. Tapi mengorbankan pernikahan dan cinta demi sebuah kemerdekaan, hanya Hatta seoranglah yang pernah melakukannya.

Hatta menikah di November 1954 saat usianya menginjak 43 tahun dengan seorang gadis Jawa Barat bernama Rachmi Rahim, yang berusia 24 tahun lebih muda darinya, persis 3 bulan pasca Soekarno bersama Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Soekarnolah aktor di balik pernikahan itu, yang mulai gusar melihat sahabatnya itu masih membujang berbulan - bulan setelah Indonesia merdeka. Uniknya mahar pernikahannya adalah sebuah buku yang ditulis Hatta sendiri berjudul "Alam Pikiran Yunani." Buku itu lahir saat Hatta sedang diasingkan Belanda di Boven Digul Papua.

Memang Hatta seorang pejuang sejati, seorang patriot yang langka. Pernikahannya dan mahar pernikahan itu melambangkan kecintaan Hatta pada buku - buku dan ilmu pengetahuan, itulah juga yang mengantarkan Indonesia menggapai kemerdekaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun